Oleh: S Stanley Sumampouw

No viral no justice, adalah ungkapan yang sekarang ini sedang trending di masyarakat kita.

No viral no justice yang berarti, “Tidak viral tidak ada keadilan”, adalah ungkapan yang sekarang dipakai masyarakat ketika Polisi (terutama) menanggapi laporan masyarakat justru setelah kasus tersebut  “meledak” di media sosial.

Yang terbaru adalah kasus yang terjadi di Sumatera Utara. Kasus yang mirip-mirip dengan kasus Mario Dandy atau terkenal dengan Kasus Rubicon, meledak di media sosial setelah ada pihak yang memuat video penganiayaan tersebut ke medsos.

Penganiayaan terjadi di bulan desember 2022, yang dilakukan oleh Aditya Hasibuan terhadap Ken Admiral. Hebatnya, penganiayaan ini dilakukan oleh Aditya didepan ayahnya, seorang perwira menengah polisi berpangkat AKBP bernama Achiruddin Hasibuan (AH).
Penganiayaan ini menjadi mirip dengan kasus Rubicon ketika kita menyaksikan di video yang beredar, Aditya menendang dan menginjak-injak Ken Admiral yang tergeletak tidak berdaya. Sementara orang-orang disekitarnya yang menonton penganiayaan tersebut, terlihat tidak berniat untuk melerai.
Blakangan, ketahuan jika salah satu penonton adalah ayahnya sendiri, AKBP AH.

Keluarga korban penganiayaan sudah melapor ke polisi, secepat kejadian tersebut terjadi. Tetapi entah kenapa, sejak pelaporan yang dilakukan Desember 2022 hingga April 2023 tidak kedengaran bagaimana kasus ini bergulir. Apa yang dilakukan polisi dengan laporan penganiayaan ini? Dimana macetnya? Dilaci siapa disimpan perkara ini?
Sampai ke pertengahan April 2023, medsos meledak dengan video penganiayaan tersebut. Tanpa ampun medsos menguliti bulat-bulat siapa itu AH, jabatannya, dan keluarganya.
Tak kurang Kapolri memberikan atensi terhadap perkara ini dan bersuara. Dan sekarang kita sudah tahu bersama perkara ini berjalan secepat peluru melesat (puji syukur berkat medsos).
Sama seperti Mario, yang ayahnya terungkap asal usul kekayaannya, AH pun berakhir dengan diusut kekayaannya oleh PPATK yang katanya, diduga, mencapai ratusan miliar kekayaannya.

Berkaca pada kasus sebelumnya.

Kita masih ingat dengan jelas, Kasus Sambo.
Ketika itu, pernyataan dari internal Polri justru memuat pernyataan yang direkayasa oleh Sambo Cs. Masyarakat yang disuguhi informasi yang melawan logikanya melakukan perlawanan di media sosial, gegap gempita, menentang dan mengecam pernyataan dari Polri dan Kompolnas tersebut. Dan akhirnya kita tahu bagaimana perkara Sambo akhirnya berakhir.

Kasus Mario Dandy yang juga dikenal dengan Kasus Rubicon. Meskipun ada indikasi kasus ini akan di rekayasa oleh pihak-pihak tertentu, tetap saja kasus ini berjalan sebagaimana mestinya berkat pengawalan ketat masyarakat medsos dan netizen.
Bahkan, berkat medsos berlanjut, kasus Mario justru menjadi pintu masuk KPK dan Kementrian Keuangan ke penyelidikan beberapa pejabatnya yang melakukan flexing di media sosial.

Lemahnya Pengawasan Internal Polri.

Dari berbagai kasus yang terjadi di masyarakat, terlihat kecenderungan masyarakat lebih percaya pada medsos daripada fungsi-fungsi pengawasan di Polri. Misalnya, Divisi Propam (Profesi dan Pengamanan).
Penindakan anggota yang melanggar atau upaya hukum internal, justru terjadi setelah medsos meributkan. Pengaduan masyarakat terhadap perkaranya yang sedang berjalan, kesewenangan anggota Polri, dan berbagai laporan masyarakat, kalau tidak lambat berjalannya, ya entah kemana laporan tersebut juntrungannya.

Divisi Propam Polri bukannya tidak ada upaya memperbaiki dan meningkatkan fungsi pengawasannya. Upaya yang dilakukan diantaranya, dengan dibuatnya aplikasi Propam Presisi dimana masyarakat bisa mendownload aplikasi tersebut diberbagai platform dan mengadukan secara langsung berbagai pelanggaran anggota Polri yang dialami masyarakat. Hanya saja kita tidak pernah mendengar ada tidaknya penindakan internal yang sudah dilakukan berkat aplikasi tersebut, dan seberapa jauh efektifitasnya.

Kasus-kasus pelanggaran anggota kepolisian terjadi karena adanya arogansi; sok menang-menangan dan sok kuasa. Ini membuktikan lemahnya kontrol institusi kepolisian terhadap personilnya.
Kewenangan yang besar dan lemahnya kontrol banyak menciptakan oknum polisi yang melakukan pelanggaran (termasuk kekerasan).
Ketidakadilan perlakuan reward and punishment di internal Polri juga memicu pelanggaran anggota. Ketidak jelasan perlakuan seperti ini sebaiknya tidak dilanjutkan, karena ini juga memicu sikap apatis dan akhirnya depresi bagi anggota.

Kasus Kapolres Nunukan dimana videonya diunggah ke medsos oleh anak buahnya sendiri membuktikan, bahwa ada ketidak adilan dan perlakuan berbeda yang dialami oleh anggota dan lemahnya fungsi pengawasan internal yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Berbagai kasus anggota polisi tentunya melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Masyarakat lebih percaya media sosial daripada polisi. Itu jelas sudah.
Lalu bagaimana seharusnya Polri kedepannya? Saya jadi ingat Kapolri Jendral Pol Listyo Sigit Prabowo belum lama mengatakan:

“Ke depan saya ingin polisi dicintai oleh Masyarakat Indonesia, karena Polri melindungi dan mengayomi masyarakat, karena Polri hadir di tengah-tengah masyarakat. Itu yang ingin kami ciptakan.”

Cinere-Depok, 02 Mei 2023, pk 10.45 WIB.

** Penulis adalah Wiraswasta, Founder Kumpulan Maspolin, Pemred Maspolin.id, dan Pemerhati Kepolisian.

Artikulli paraprakTingkat Kepercayaan Publik Kepada Polri Meningkat, Ini Penjelasan Dosen Manajemen SDM STIK
Artikulli tjetërHari Buruh, Kapolres Blitar Kota Bersama Dandim 0808 Serahkan Bantuan Untuk Pekerja Yang Alami Laka Kerja