Oleh: Embie C Noer
Di kabinet yang baru, film tidak lagi diurusi oleh pusat pengembangan film. Film konon akan diurus – seperti dulu, disatukan dengan bidang Seni dan Budaya lain dibawah direktorat jenderal kebudayaan kementerian pendidikan dan kebudayaan. Film sebagai Ekonomi Budaya.
Apapun bentuk tatakelola film yang dibuat oleh pemerintah tidak akan efektif jika para pelaku kegiatan dan usaha perfilman nasional sendiri belum tertata secara baik dalam organisasi ( ekologi ) dan sistim jaringannya ( ekosistim ).
Keberadaan BPI ( Badan Perfilman Indonesia ) sebagai ‘rumah besar’ insan perfilman, sesungguhnya bisa berperan besar jika seluruh stakeholdernya hidup sehat dan guyub.
Keberadaan Nadhiem di Kemdikbud – Nadhiem tokoh ekonomi kreatif Indonesia yang sukses, harus dibaca sebagai ajakan presiden kepada seluruh fihak terkait untuk melakukan lompatan berani dalam kerja Pendidikan, Kebudayaan, dan Kesenian, termasuk di dalamnya Film.
Budaya masyarakat dalam menonton film telah melompat jauh. Film tidak cuma bisa ditonton di bioskop dan televisi. Kini film tampil dengan berbagai ukuran layar ( screen ) dalam berbagai jenis peralatan ( gadget ). Pilihan masyarakat dalam menonton film juga semakin beragam sesuai dengan kebutuhan. Hiburan, pendidikan, informasi, tutorial, pengetahuan, dan sebagainya.
Film hiburan di bioskop masih menjadi primadona bagi masyarakat. Film bioskop sekalipun jumlahnya jauh lebih sedikit dari film di televisi, film bioskop tetap jadi pusat perhatian media dan pemerintah dalam hal pembinaan dan pengembangan. Padahal yang secara rutin dan intensif ‘mendidik’ masyarakat lewat film bukanlah bioskop tetapi film-film yang membanjiri televisi, komputer, dan gadget. Film di luar bioskop oleh pemerintah hanya disikapi dengan kebijakan polisional dan sensorsif. Untuk pengembangan kreatifitas konten, Kemdikbud selaku kementerian teknis tidak bisa campur tangan karena itu ‘wilayah dari Kominfo’.
Film di kabinet baru juga merupakan tupoksi Kemenparekraf. Film dilihat sebagai ekonomi kreatif. Di sini film seratus persen sebagai Budaya Ekonomi. Sebagai ilustrasi, jika dalam kegiatan FFI (Festival Film Indonesia) film terbaik masih dibebani dengan nilai pembangunan karaktet, muatan budaya, dan seterusnya; maka FFI versi parekraf adalah festival sebagai bagian dari penggerak pertumbuhan ekonomi. Film Terbaik beserta unsur-unsurnya yang terbaik, adalah yang potensial sebagai penggerak ekonomi film. Seluruh unsur yang ada dalam kegiatan FFI jenis ini akan dijadikan sarana penggerak perekonomian. Sedangkan FFI versi Kemdikbud harus menjadi barometer dan indikator kemajuan film sebagai “…karya seni budaya yang merupakan pranata sosial, memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa…”
Film juga ada di PUSTEKKOM ( Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan ) Kemdikbud. Di sini film seratus persen menjadi perangkat pendidikan. Pesan yang disampaikan presiden kepada Nadhiem, bahwa pendidikan harus mengoptimalkan teknologi agar pendidikan tidak terpusat di Jakarta dan Jawa saja, sesungguhnya kerangka dasarnya sudah dibuat sejak tahun 1976 yang telah melakukan tiga kali pengembangan, 1978; 2000; 2005.
PPFN ( Perum Produksi Film Negara ). Ini perum yang aneh, mengapa? Di awal pemerintahannya Pak Jokowi mengatakan komitmennya untuk perfilman nasional tetapi perum ini tak mampu mewujudkan komitmen presiden padahal bisa dibilang, semuanya tersedia; SDM, SDA, Modal, Teknologi. Jangankan untuk menghasilkan devisa melalui industri film – yang sesungguhnya sangat potensial, untuk menjadi leading sektor produksi perfilman nasional saja tidak bunyi.
Maka, jika disimpulkan, perangkat pemerintah untuk pengembangan perfilman sudah tersedia tinggal mengaktifkan saja. Kemudian yang lebih penting, insan perfilman harus sadar, jika peran sertanya dalam program perfilman pemerintah dilakukan dengan eceran, alias sendiri-sendiri, tidak melalui BPI, maka yang terjadi pasti kerja serabutan yang sulit untuk diintegrasikan, sulit diukur tingkat keberhasilan dan efektivitas kinerjanya. Ini berpotensi gagal fokus dan mubasir tenaga, waktu, dan dana.
BPI sendiri harus cermat dalam merancang organisasinya agar dapat mengoptimalkan tupoksi peran sertanya. Bagaimana format program dan rancangan untuk Kemendikbud, Kemenparekraf, Kominfo, Pustekkom, PPFN. Jika BPI periode pertama adalah sebuah esensi, periode kedua adalah substansi, maka periode ketiga harus berorientasi pada eksistensii agar segera dapat mewujudkan ekspresi. Ekspresi Kebudayaan Indonesia ke seluruh layar dunia.(*)










