Oleh: AC Mahendra K Datu
Seorang sahabat lama dari Yogya menanyakan ke saya hal ini: “Istriku mau buka tempat makan, bukan resto modern lah, lebih tepatnya warung makan yang sederhana namun bersih dan nyaman. Enaknya menunya apa ya Bro?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sudah terlalu sangat sering saya dengarkan baik dari orang-orang yang saya kenal langsung maupun sidang pembaca artikel-artikel saya yang tersebar di Kontan, Kompas, SWA, Warta Ekonomi dan artikel-artikel pendek di media sosial saya. Jadi tak terlalu sulit bagi saya merespon pertanyaan itu.
“Coba saya tanya tiga hal dulu ya, satu, kenapa mau bisnis warung. Dua, modal yang disediakan berapa. Tiga, ini sekedar menyalurkan hobi istrimu, atau bener-bener buat mata pencaharian?”
Saya tahu betul dia akan dengan mudah menjawabnya. Saya kenal dia sudah puluhan tahun di Yogya, saya kenal juga istrinya yang ‘pernah’ bekerja kantoran. Tempat tinggalnya? Oo, tentu saja saya tahu betul di mana dia tinggal dan lingkungan seperti apa di sekitarnya. Saya sedang memetakan – bahasa kerennya: profiling – hubungan antara dia dan istrinya ingin buka warung makan dan bagaimana peluang lingkungan sekitarnya merespon bisnis barunya.
Kenapa Mau Berbisnis Warung Makan?
Orang butuh makan dari pagi, siang dan malam. Masalahnya, yang buka warung makan ya semakin banyak. Bahkan ada yang buka hanya ‘dapur’ saja, lalu menjual dengan cara delivery jarak dekat. Bukankah tetangga-tetangga kita juga begitu? Menawarkan dagangan makanannya di WA Group RT atau kelompok PKK, buka PO, lalu pada hari yang dijanjikan makanan dikirim ke pemesan-pemesannya. Pandemi ini seperti pupuk tanaman, menyuburkan bisnis makanan rumahan. So? Jadi tetap keukeuh buka warung makan atau batal?
Bagi anda yang pernah ke ITC Roxi di Jakarta Barat, dulu di jaman kejayaannya ada ratusan (ada yang bilang ribuan) gerai yang jualan berbagai merek HP. Tampak tak ada bedanya, semua gerai menjual barang-barang yang kira-kira serupa. Dan hebatnya, meski tampak saling kanibal – saling bersaing – semua gerai baik-baik saja dan bertahan.
Saya bilang ke sahabat lama saya itu, silakan buka warung makan. Karena ini pengalaman pertama keluarganya bisnis warung makan, pesan saya hanya satu: jangan jual makanan aneh-aneh dulu. Jual saja makanan rumahan yang bisa dimakan berulang-ulang pagi, siang dan malam. Kalau sudah sukses, silakan jualan macam-macam yang lebih premium.
Lalu dia nyeletuk….”Jadinya aku buka Warteg donk!”
Saya beri dua jempol buat dia. Perlu waktu setengah jam setelah itu untuk mengobrol dan menjelaskan mengapa warung makan rumahan jauh lebih teruji kelanggengannya ketimbang warung makan yang jual menu spesifik.
Dana Seratus Juta. Cukup?
Sebentar, tunggu dulu. Mari kita segarkan ingatan kita kembali ya. Kita sedang membahas warung makan rumahan. Dari sebutannya saja, ini bisnis skala ngga besar-besar amat. Apakah seratus juta cukup? Tergantung investasi apa yang mau dieksekusi? Kalau harus sewa ruko ya jelas tidak cukup. Tapi kalau hanya membangun satu dapur baru dengan kompor gas dua tungku serta piranti memasak yang memadai, lalu mungkin tiga atau empat meja dengan masing-masing dua kursi (prokes selama pandemi), piranti makan minum serta bahan baku memasak untuk awal buka warung, seratus juta jelas lebih dari cukup. Katakanlah menggaji satu tukang masak dan asisten yang melayani pelanggan, maka seratus juta sudah sebuah kemewahan.
Pertanyaan saya, apakah uang seratus juta itu seluruh tabungan dikuras semua atau hanya sebagian saja dari dana simpanan yang ada? Hati-hatilah dengan ‘menguras’ seluruh uang tabungan bila ‘buka warung makan’ adalah pengalaman pertama anda. Pengalaman pertama adalah sekolah, dan itu ada biayanya.
Mau Di-seriusi Atau Hanya Hobi?
Apa salahnya menjalankan hobi dengan serius? Bila bisnis kulineran adalah hobi, passion, panggilan kita, lalu kita ada dana untuk menyalurkan serta merealisasikan hobi itu, ya kenapa tidak? Kalau ini hanya hobi dan anda siap buang seratus juta untuk belajar bagaimana berbisnis warung makan, silakan saja. Toh ini hanya hobi. Tapi menurut saya, sayang kalau buang-buang uang sebanyak itu. Saran saya, di-seriusi dan dikembangkan. Bisnis makanan, apalagi makanan rumahan, adalah bisnis yang tahan uji sejak republik ini baru berdiri. Para pelanggan tidak akan keberatan sarapan, makan siang dan makan malam di warung yang sama asal menunya menu rumahan dan macam-macam: lauknya beragam, sayurnya variatif, dan asal ditemani teh atau kopi panas, sekali makan keluar dua puluh lima sampai tiga puluh lima ribu tak apalah.
Bisnis Itu Harus Relevan!
Maksudnya? Kira-kira begini, bisnis itu tujuannya hanya tiga hal kok: 1) memberikan solusi bagi masalah orang-orang, 2) menyediakan apa yang orang-orang inginkan, serta 3) memudahkan orang-orang menjalani kehidupan keseharian mereka. Intinya jangan paksa orang-orang membeli apa yang sekedar menjadi hobi anda. Kalau hobi anda tidak memenuhi salah satu dari ke tiga tujuan tadi berbisnis, sangat lah susah kita memastikan kesinambungan bisnis kita.
Relevan itu maknanya kira-kira ‘masih ada kaitannya’. Orang membayar harga sebuah solusi bila itu menyelesaikan masalah mereka. Orang juga membayar barang-barang dan layanan bila barang dan layanan itu adalah keinginan mereka pada saat itu. Terakhir, orang rela membayar bila hal-hal yang ditawarkan memudahkan mereka dalam banyak hal. Selalu begitu. Selalu berpasangan. Solusi terkait dengan masalahnya. Ketersediaan terkait dengan keinginan-keinginannya. Kemudahan selalu terkait dengan kesulitan-kesulitan yang ada.
Buka bisnis warung makan hanyalah satu dari sekian banyak contoh yang memakai prinsip itu. Teman saya manggut-manggut saat setengah jam saya menjelaskan hal yang sangat mendasar dalam berbisnis. Lalu saya bilang kepadanya, “Makanya, sesekali kalau mampir ke warteg isng-iseng lah survey harga, survey menu apa saja yang dijual, berapa kira-kira ia bisa layani orang-orang dalam setengah jam (di saat anda dan pelanggan lain makan). Hitunglah secara kasar, kalau warung itu buka dari jam 7 pagi dan tutup jam 9 malam, kira-kira berapa banyak orang yang beli di sana. Kalau satu orang habiskan dua puluh ribu rupiah saja, silakan dikalikan dengan berapa orang yang kira-kira beli di warung itu dalam sehari.
Ingat, jualan makanan rumahan itu marjinnya bisa 30%!
Salam sukses!
AC Mahendra K Datu
Innovation/ OSCI Designer
Anggota Maspolin
IG: @mahendradatu










