Dibuat Oleh: Thompson Hs.
Siamak pandanĀ adalah nama desa Tipang terdahulu, mengikuti nama putri Siraja Lontung yang diperistri Siraja Sumba. Induk Simamora dan Sihombing Sebagai putri Siraja Lontung, Siamakpandan terkadang disebut Boru Siamakpandan Nauli.
Kelompok Borbor, terutama dari catatan Mangaraja Salomo Pasaribu (1938) menganggap putri Siraja Lontung ada dua orang yaitu Boru Siamakpandan dan Siboru Panggabean. Itulah salah satu argumen Kenapa terjadi sebutan sihombing dan simamora diluar tipang, karena putri kedua diperistrisisulung (simamora) dan sibungsu menikahi boru SiamakpandanCatatan Mangaraja Salomo lama-lama lebih diikuti tanpa mengetahui realitas sejarah Disiamakpandan (Tipang).
Ketika Nelson Lumbantoruan ingin menulis sejarah Lumbantoruan dan terkait tambak (tugu) Lumbantoruan Disitedak Tipang, Sebutan Simamora dan Sihombing di Tipang dianggap mengganggu.Malahan bertanya: apakah itu tak bisa dirubah…??? Saya menyatakan bukan saya yang menentukan.
Begitu Fakta sosial-kultur dan tinggalan arkeologisnya juga masih konsisten di Tipang melalui posisi Raja Napitu yang berurut dari Purba, Manalu, Debataraja dari Simamora, dan Silaban, BLumbantoruanNababan, Hutasoit dari Sihombing, serta letak warisan batu toguan dari Siraja Lontung kepada helanya, siraja sumba dihutasoit.
Sebaliknya, kalau memang Sihombing dan Simamora posisi sosial-kultur Raja Napitu di Tipang tidak begitu dan batu toguan mestinya terletak di sekitar kampung Debataraja atau wilayah golat Simamora.
Golat adalah hak ulayat masing-masing dari induk-induk marga horja, dalam kerangka bius. Bius adalah federasi horja yang aslinya muncul dari dari Sianjur Mulana (Limbong dan Sagala) tekait pertanian.
Bius memiliki upacaranya tersendiri di luar upacara horja (saompu) dan ritus-ritus di tingkat terendah di huta (kampung rintisan) sebagai otonomi terendah, ritus-ritus di huta diikuti pengembangan dari kampung rintisan, seperti lumban dan sosor.
Upacara atau ritus horja diikuti kampung-kampung yang bergabung dengan horja tersebut Demikian upacara bius diikuti horja-horja yang bergabung.Sitor Situmorang (2009) memberikan tiga pola bius, yang asli, yang berkembang seperti yang asli, dan yang kemudian.
Yang asli punya organisasi parbaringin, yang kedua bisa ada parbaringin bisa tidak, dan pola ketiga tidak punya parbaringin. Parbaringin merupakan semacam pendeta yang memimpin upacara bius.
Parbaringin bukan datu atau guru yang memimpin ritus-ritus perkampungan penyembuhan pengusiran roh jahat, dan lain-lain di luar upacara bius. Dalam ritus dan upacara horja, datu terkadang terlibat, sesuai kondisi Tapi parbaringin belum dapat dipastikan, kecuali dari horja tertentu ada seorang parbaringin.
Bius asli dari Sianjur Mulana bersebar terutama di bagian barat Danau Toba dan memiliki ciri-ciri ke dalam pola kedua. Pola bius yang kedua berkembang dari Pangururan ke arah timur dan tenggara Danau Toba. Sedang pola bius yang ketiga di dataran tinggi.
Seperti humbang Bius Siamakpandan (Tipang) dan Sionom Ompu di Bakkara boleh dikatakan serupa berdasarkan teori Sitor Situmorang. Namun bisa berbeda mengikuti teori Ulber Silalahi (2014) yang menggambarkan hanya dua pola bius pola genealogis dan non-genealogis.
Bius Siamakpandan sudah pasti berpola genealogis karena tujuh marga yang menjadi horja, berasal dari satu induk, siraja Sumba.
Ketujuh marga dalam konteks horja itu bisa merupakan perkembangan dua horja awal simamora dan sihombing, tujuh marga ditipang mungkin juga menjadi horja-horja tersendiri setelah sebagian Purba terpisah menjadi horja tersendiri seperti di Bakkara dan Silindung. Lalu satu per satu horja Purba di luar Tipang bergabung ke bius seperti Sionom Ompu di Bakkara dan Siualu Ompu di Peanajagar Tarutung (Silindung).
Bius genealogis juga ada di Silalahi, Paropo dan semua keturunan Silahi Sabungan 8 marga bersatu dalam upacara biusnya di sana, meskipun salah satu horja marga Tambunan,sudah eksis berkampung di luar Silalahi, Paropo. Ini yang menimbulkan pertanyaan terhadap Bius Siamakpandan dengan pola genealogisnya.
Tipang beberapa waktu lalu masih dengar dengan istilah Tano Natinadinghon, Tano Nanidapothon tanah yang ditinggal tanah yang dikunjung lagi, Artinya ada gelombang. Siraja Sumba dan kedua anak atau keturunannya meninggalkan tanah rintisan itu setelah Siraja Sumba dan Siraja Oloan meninggalkan Baligeraja. Kalau kita baca Vergouwen ((2006) Siraja Sumba pernah di dataran tinggi Humbang dengan kedua anaknya.
Karena catatan Vergouwen tidak bersifat kronologis, maka kepastian waktu Siraja Sumba di dataran tinggi Humbang tidak bisa kita reka situasinya.
Namun Tipang dalam dokumen keturunan Raja Nikanor Manalu, bekas kepala nagari, Tipang dirintis kembali oleh Ompu Niatas Barita dengan iparnya, Ompu Puhunan Silaban dengan kedatangan mereka dari arah Bakkara.Kemudian saudara dan marga-marga lainnya menyusul Ompu Raja Ujian Hutasoit menyusul dari Siborongborong
Disana namanya dicatat dalam silsilah marga Hutasoit dengan nama Ompu Datu Mangaruji. Bersama anaknya Ompu Tualan merintis perkampungan di Tipang dolok, mengikuti pola keperintisan ulang Ompu Barita Oloan
Meskipun tidak mengikuti pola perkampungan yang berbanjar (bertingkat panjang dengan kampung tambahan). Dari Tipang doloklah dimulai kembali sejarah bius itu. Bius praktis dilarang masa kolonial, karena dianggap membahayakan.
Kekalahan Sisingamangaraja juga menguatkan pelarangan atas rekomendasi misionaris Protestan dengan segala praktik”kekafiran”nya.Upacara bius diberikan izin oleh V.E.Korn, residen Belanda di Sibolga tahun 1938 atas permintaan sejumlah tetua dari Samosir.
Upacara bius berlansung di negeri Sihotang sebagai dasar catatan V.E. Korn yang dijadikan salah satu pegangan dan informasi penelitian tentang bius, termasuk oleh Sitor Situmorang. Infomasi lisan tentu saja sebagian diketahui oleh Sitor Situmorang berdasarkan ayahnya, Ompu Babiat Situmorang, ipar Patuan Bosar Ompu Pulo.(BSTU) (Sisingamangaraja).
Sebelum Sitor Situmorang meninggal di Belanda pada tahun 2014 bersama saya, Barbara Brouwer (istrinya), dan Lena Simanjuntak- Mertes (dari. Lembaga Jerman – Indonesia) Masih sempat mendirikan Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) di Siantar dan bertujuan untuk menggali kebudayaan Batak lebih dalam.
Tahun 2006 Tomok melakukan rekonstruksi upacara bius atas supervisi PLOt dan perkembangkan revitalisasi bius berdampak untuk penciptaan sejumlah kegiatan di kawasan Danau.Toba.
Bius Siamakpandan diperkenalkan dengan.kegiatan Sihali Aek dengan Raja Napitu. Namun rekonstruksi secara detail belum diperhatikan. Bagaimana gambaran praktis Bius Siamakpandan di fase Simamora dan Sihombing serta fase keperintisan kedua oleh Ompu Niatas Barita.
Ini perlu lebih hati-hati, apalagi kalau hanya untuk tujuan pariwisata. Raja Napitu dan Raja Naualu di Tipang, saya kira perlu diungkap masa lalunya dalam konteks bius dan adat.
Bius dan praktik adat dalihan natolu tak bisa dicampur-baurkan, kecuali dalam. Konteks suhi siampang na opat, empat dari status bar sosial-kultural dari Batak Toba atau Batak di Toba.
Oleh Thompson Hs










