Oleh: AC Mahendra K Datu
Praktisi Corporate/ Innovation/ OSCI Designer
“Procrastination is the thief of time.”
Edward Young
Dalam bahasa Latin – dan tentu basis dari segala terminologi ilmiah – Procrastinate berarti menunda. Menunda berarti nanti akan melakukan sesuatu’. Dalam berbagai kamus bahasa dunia nanti memiliki karakteristik infinite atau waktunya tak terbatas. Dengan demikian nanti bisa berarti kapan saja, atau kapan-kapan. Persis dengan apa yang dilagukan Koes Plus di tahun 70-an: “Kapan-kapan kita bertemu lagi ……… mungkin lusa, atau di lain hari.
Tentu saja ini sangat disayangkan, karena dalam ilmu manajemen modern, kata penundaan kurang disukai dan bahkan tak mendapatkan tempat dalam kumpulan kosa-kata di kamusnya. Bukan karena sifat kapan-nya yang tak jelas itu, tetapi lebih pada kuatnya pembentukan kultur korporat dan personal yang negatif. Bila penundaan lalu menjadi budaya dan mengakar hingga menjadi semacam norma, maka sia-sialah ilmu manajemen modern mengajarkan prinsip think fast, act fast. Maksudnya, tentu akan jauh lebih parah lagi apabila virus penundaan bukan hanya menjangkiti fase ‘bertindak’, melainkan sudah menyerang sejak fase awal: berpikir. Benarlah argumen yang menyatakan bahwa hal terburuk dari kebiasaan menunda justru terjadi pada fase berpikir, karena dari berpikir inilah ide-ide, strategi, perencanaan, visi dan misi disusun.
Tengoklah kampiun investasi Warren Buffet yang di tahun 2008 silam pernah dinobatkan menjadi manusia terkaya di planet bumi menggeser posisi Bill Gates, menceritakan kisahnya saat membeli saham pertamanya di usia 11 tahun dan mendapatkan profit dari saham itu. Apa katanya? Dia menyesal mengapa dia tidak melakukannya dulu-dulu. Bila Warren Buffet yang di usia mudanya merasa telah menunda membeli saham, sulit bagi saya membayangkan para pensiunan pegawai dan eksekutif di negeri kita ini yang di gerbang usia senjanya – sibuk main saham, valas dan index hingga rela tidak tidur untuk mengawasi pergerakan saham, valas dan index di London, New York serta harga-harga komoditi di Chicago dan Brazil.
Saya ingat sekali di sekitaran tahun 2006 akhir saya diajak seorang sahabat mendatangi sebuah presentasi investasi dengan komoditi minyak (oil) sebagai obyeknya. Perusahaan investasi tersebut berasal dari Singapura dan menawarkan nilai per lot dengan harga US$ 5,000 dengan patokan harga pembelian di kisaran US$ 55/ barrel. Sahabat saya tertarik untuk berinvestasi karena presentasinya sangat menarik. Namun ketika sang presenter mengatakan bahwa investasi ini akan sangat menguntungkan para investornya karena minyak akan menyentuh angka US$ 100/ barrel, sahabat saya ini lalu mengurungkan niatnya berinvestasi. Pikirnya, Tipuan macam apa ini? Minyak menyentuh US$ 100/ barrel? Yang benar saja! Akhirnya dia tak jadi ber-investasi. Karena hanya diajak, saya pun mengurungkan niat untuk ikut beli lot. Nothing to lose!
Nothing to lose? Beberapa waktu kemudian harga minyak menyentuh angka US$ 138/ barrel, dan terus naik. Dan jadilah hari ini kita mendengarkan begitu banyaknya gerutuan dengan refren seandainya saja….
Saat Benjamin Franklin mengatakan You may delay, but time will not, dia mengatakannya dengan serius betapa parahnya manusia membunuh waktu dengan menunda banyak hal baik yang sebenarnya dapat dikerjakannya saat itu juga. Inilah citra homo sapiens alias manusia bijak dan cerdas yang gemar buang waktu, sementara begitu bangun dari tidurnya saja burung pipit langsung pergi mencari cacing bahkan sebelum matahari terbit. Homo sapiens? Atau, homo adamans? (adamans: keras kepala)
Ilmu manajemen modern mengajarkan kita pada model perencanaan yang terukur dan dikerjakan secara disiplin, sehingga untuk itu diperlukan time-table. Dalam time-table, setiap item jenis pekerjaan memiliki deadline yang diperhitungkan secara wajar dan masuk akal. Saya ingat kolega saya berkisah tentang sebuah perusahaan yang rajin membuat perencanaan, dan selama dua tahun terakhir sibuk membuat revisi-revisi atas perencanaan itu. Hanya sedikit saja waktunya didedikasikan untuk menentukan deadline, mengeksekusi pekerjaan jangka pendek, serta evaluasi-evaluasi seperlunya. Akhirnya yang terjadi adalah, perusahaan itu membuat perencanaan untuk sebuah rencana, atau lebih parah lagi, merencanakan sebuah planning.
Masih menurut kelanjutan kisah itu, alasan top management sangat sederhana: planning harus dibuat serapi dan sesempurna mungkin agar saat dieksekusi akan berhasil dengan sempurna. Pembaca yang budiman, tak ada rencana yang benar-benar sempurna, dan itulah mengapa disebut rencana bukan hasil. Tanpa eksekusi serta penyesuaian dan perbaikan-perbaikan berkesinambungan, sebuah rencana hanyalah gambaran maya yang samar-samar, dan sama sekali belum menggambarkan akan seperti apa hasil akhirnya nanti.
Seyogyanya, eksekusi tak boleh ditunda-tunda, karena di sanalah kita akan belajar banyak, untuk berpikir dan bermanuver, bagaimana mencari solusi terbaik atas masalah-masalah jangka pendek yang ada di depan mata. Filsuf terkemuka Horatio Dresser mengingatkan kita semua, The ideal day never comes. Today is ideal for those who make it so!” Inilah daya tarik ilmu manajemen modern yang sangat menghargai proses, bukan sekedar hasil akhirnya saja. Seolah ilmu manajemen modern ingin mengatakannya begini: kita bisa saja menangkap pencuri yang membawa kabur uang lima juta rupiah kita, tetapi bila kita menangkapnya dengan biaya dua puluh juta, apakah itu suatu tindakan yang bijak?
Saya setuju saja bahwasanya membuat konsep memang penting, tetapi yang lebih penting adalah menuangkan konsep-konsep itu ke dalam tata laksana kerja yang terukur, baik dari sisi volume pencapaian, tenggat waktu, dan penentuan akan siapa-siapa saja yang terlibat dan bertanggungjawab. Bila seluruh sistem dan bagian-bagiannya disiplin waktu, tidak menunda-nunda, suatu saat nanti kita akan bersyukur karena dalam jangka waktu yang relatif pendek, kita sudah menyelesaikan banyak hal baik. Bila toh kita gagal dalam upaya-upaya kita, kita masih memiliki spare waktu yang cukup untuk melakukan evaluasi dan perbaikan-perbaikan seperlunya.
Barangkali selama ini kita tak begitu peduli dengan waktu yang terbuang percuma. Dan mungkin saja kita berpikir (serta berharap) bahwa orang lain akan berpikiran sama dengan kita. Sayang sekali harapan itu tidak mewakili keseluruhan realita yang ada: orang lain kompetitor-kompetitor kita sedang sibuk dan giat-giatnya melebarkan sayap, bahkan siap mencaplok wilayah kekuasan kita karena kita mendiamkannya seolah segala sesuatu akan beres dengan sendirinya.
Ada banyak pekerjaan yang perlu segera diselesaikan: bisnis tak semakin mudah, persaingan tak semakin bersahabat, sementara sang kala terus berjalan meninggalkan kita tanpa ada yang dapat menghentikannya. Saat kita menyadari bahwa penundaan adalah … THE ART OF KEEPING UP WITH YESTERDAY seperti kata Don Marquis, kolumnis koran terkenal, segala sesuatunya sudah sangat terlambat.
Kerusakan sudah sedemikian besar, sampai-sampai kita memerlukan satu planning tersendiri hanya untuk memperbaiki kerusakan-kerusakaan itu. Dan pada saat kita mengerjakannya, …. o amboi! Kita sudah semakin jauh tertinggal!










