KISAH BATU SIUNGKAPUNGKAPON DI TANAH TOGUAN TIPANG-HUMBAHAS

Dibuat Oleh: Thompson Hs.

Tersebutlah Siraja Sumba, anak sulung dari Sorba Dibanua, memilih satu tempat di sebelah Barat Daya Danau Toba. Dia sempat bersama Siraja Oloan, abangnya dari lain ibu, yang juga memilih tempat yang berdekatan.Mereka memilih tempat baru itu untuk menghindari konflik masa lalu di Baligeraja.

Siraja Oloan sesungguhnya sudah sempat tinggal disamosir, setelah pertikaian di Baligeraja. Namun dia meninggalkan kedua anaknya (dari Boru Limbong)disana.
dan menuju arah Selatan Baligeraja. Siraja Oloan bertemu di Meat dengan Siraja Sumba setelah meninggalkan Samosir.

Siraja Sumba menyambut abangnya setelah berpisah dengan kedua adiknya di dataran tinggi. Kedua adik Siraja Sumba bernama Siraja Sobu dan Siraja Naipospos ikut meninggalkan Baligeraja. Mereka sempat berdiam beberapa saat di Selatan Dolok Tolong sebelum tinggal lebih lama di Dolok Imun.

Namun kemudian mereka memilih masing-masing tempat baru itu ke arah Selatan dan Barat.Sekarang sejumlah keturunan Siraja Sobu dan Siraja Naipospos dapat ditemukan di daerah Silindung dan Hurlang sebagai marga-marga utama.Beberapa marga dari keturunan Siraja Naipospos juga ada di tempat baru yang dipilih Siraja Oloan di Bakkara.

Dulu tempat baru yang dipilih Siraja Oloan itu termasuk dalam wilayah Dairi Bagasan. Sedangkan Bakkara kemudian dijadikan nama tempat itu karena Siraja Oloan memiliki salah satu anak dari istri baru Boru Pasaribu. Di beberapa tempat di Dairi Bagasan ditemukan keturunan Siraja Borbor, termasuk di Bakkara yang sekarang dengan marga Pasaribu.

Sinambela,satu dari lima anak Siraja Oloan di Bakkara juga memperistri Boru Pasaribu. Siraja Sumba memperistri putri Siraja Lontung, abang dari Siraja Borbor. Putri Siraja Lontung bernama Boru Siamakpandan. Nama Siamakpandan itulah nama awal tempat baru yang dipilih Siraja Sumba, berdekatan dengan Bakkara.

Pengaruh Siraja Lontung dan Siraja Borbor menjadi bagian dari praktik kebudayaan Siraja Oloan dan Siraja Sumba. Siraja Sumba memiliki dua anak dari Boru Siamakpandan. Perkawinan mereka ditandai dan diberkati oleh Siraja Lontung melalui sejumlah tanda disiamakpandan
(Desa Tipang).Air terjun Sipultak Hoda merupakan hadiah utama dari Siboru Pareme (istri Siraja Lontung) kepada Siraja Sumba. Terkait pertanian, Siraja Sumba menerima Batu Siungkapungkapon serta tiga batu simbolik dari Siraja Lontung.

Bentuk Batu Siungkapungkapon yang diberikan Siraja Lontung menyerupai tutup batu singkam. Batu singkam merupakan wadah kubur berbentuk lesung dari batu dengan penutup khas yang bulat dan simetris. Secara lengkap batu singkam menjadi wadah bagi tengkorak sejumlah leluhur sebelum muncul tradisi wadah kubur sarkofagus.

Batu singkam ditemukan di tempat-tempat yang paling tinggi di bagian Barat Danau Toba, termasuk di atas Pulau Samosir. Sedangkan sarkofagus sebagai wadah kubur yang lebih halus dapat ditemukan di dekat tepian danau toba dengan jumlah ratusan. Batu singkam merupakan bukti wadah kubur dari peradaban lama di kawasan Danau Toba.

Tutup batu singkam yang menjadi Batu Siungkapungkapon bagi keturunan Siraja Sumba kemungkinan besar dibawa dari tempat yang lebih tinggi di sekitarnya atau dari tempat berdiam Siraja Lontung di Ulu Darat. Tidak ada prediksi atas tutup batu itu lengkap dengan badannya diberikan oleh Siraja Lontung kepada Siraja Sumba sebagai menantu. Sehingga kemungkinan besar Siraja Lontung merupakan salah satu seniman pembuat batu singkam dari Ulu Darat. Pergeseran tutup batu singkam atau Batu Siungkapungkapon tidak menjadi masalah sebelum diduga terkait dengan badannya secara khusus.

Batu Siungkapungkapon terletak di satu lahan yang sudah dikuasai keturunan Raja Bintoa Hutasoit. Lahan itu juga menjadi salah satu tempat upacara bius Organisasi gabungan kampung. Tujuh cucu Siraja Sumba dari kedua anaknya memiliki tempat tinggal tersendiri disiamakpandan
(Desa Tipang). Ketujuh cucu itu menjadi sub-marga Simamora (3) dan Sihombing (4) dan tujuh “raja” dalam pelaksanaan upacara dan ritual bius. Namun saat ini upacara dan ritual sudah tidak seperti dahulu kala karena sudah dipengaruhi agama yang datang dari luar. Sehingga ketujuh sub-marga dan “raja” bersifat simbolik dan lebih ekspresif dalam pelaksanaan praktik adat dalihan natolu
(tungku yang tiga).

Kenapa Batu Siungkapungkapan di Hutasoit?


Hutasoit sebagai sub-marga merupakan cucu bungsu Siraja Sumba dan berarti juga sebagai anak bungsu dari Sihombing. Sihombing merupakan adik Simamora, bukan sebaliknya seperti yang biasa dalam penyiaran genealogis tujuh keturunan Siraja Lontung. Terkait penyiaran tujuh keturunan Siraja Lontung dan menantunya Sihombing-Simamora memerlukan pembahasan khusus. Namun tujuh cucu Siraja Sumba:


Purba, Manalu, Debataraja, Silaban, Lumbantoruan, Nababan, Hutasoit. menjadi sangat penting dalam kaitan Batu Siungkapungkapon.

Batu Siungkapungkapon terkait dengan makna pertanian karena dalam setiap upacara tutup batu singkam itu disingkapkan-atau dibukakan dari posisinya yang telungkup– untuk melihat jenis bibit padi yang akan ditanam secara serentak oleh keturunan Siraja Sumba di Siamakpandan (Desa Tipang). Jenis bibit padi itu diidentifikasi dari warna semut yang tampak setelah setelah tutup batu disingkap. Kemudian tutup batu singkam itu ditelungkupkan kembali selama tidak ada upacara pertanian. Sedangkan tiga batu simbolik bersifat alami dan masing-masing disebut batu sinur (batu berlimpah), batu gabe (batu berketurunan), dan batu torop
(batu beranak-pinak). Ketiga batu itu merupakan tiga batu alami di dekat Batu Siungkapungkapon.

Lahan terletaknya Batu Siungkapungkopan sering juga disebut toguan. Toguan sebagai identifikasi tempat bermakna kiblat. Istilah itu muncul dari kata atau bentuk dasar togu (teguh, kuat). Kiblat ini meneguhkan adanya upacara tertentu seperti pertanian dan dalam kaitan leluhur. Kiblat seluruh orang Batak diidentifikasi secara mitologi di Dolok Pusuk Buhit. Namun terkait berbagai leluhur marga kiblatnya terkait dengan tanda atau totem di suatu tempat. Namun Pemujaan orang Batak terhadap leluhurnya memiliki citra ke ketinggian gunung dan tempat tertentu.

Diperlukan penelitian khusus untuk mengidentifikasi fungsi lain dari toguan. Namun toguan dalam kaitan Batu Siungkapungkapon mungkin dekat citranya dengan parbandaan, kompleks pemakaman kalau tutup batu singkam itu masih dimaksudkan citranya dengan badannya, di luar konteks parbandaan, Namun toguan bisa dimaknai lagi sebagai pengikat.

Toguan itulah yang mengikat ingatan keturunan Siraja Sumba dengan Siraja Lontung. Sedangkan Batu Siungkapungkapon menjadi bukti adanya ikatan di toguan.Sekitar toguan itu pernah terdengar sebagai kompleks pemakaman sebelum kemudian dikenal sebagai perkampungan Hutasoit yang dirintis dan dibangun oleh Ompu Tualan, generasi ke-12 atau ke-13 belas marga Hutasoit setelah bersama ayahnya Ompu Raja Ujian (Datu Pangaruji) datang kembali ke Siamakpandan dari Siborongborong untuk menyusul “perwakilan” keenam sub-marga lain yang dirintis kembali oleh generasi ke-11 dari marga Manalu terutama Manalu Rumahole.

Siamakpandan (Desa Tipang) dalam citra lama dan dua anak Siraja Sumba sering dikaitkan dengan Pulau Simamora dan Sirungkungan. Namun bagian atas Siamakpandan (Desa Tipang) dirintis kembali oleh keturunan perwakilan tujuh sub-marga itu. Sehingga dapat dibayangkan terletaknya Batu Siungkapungkapon berada di tempat yang lebih tinggi dari titik pantai atau tepi danau. Dirintis dan dibangunnya perkampungan Hutasoit kemudian di sekitar lahan Toguan kemungkinan besar terkait karena marga Hutasoit sebagai anak dan cucu paling bungsu.

Sebelumnya perkampungan Ompu Tualan konon sudah ada di Sosor Baringin, beberapa puluh meter dari situs Batu Siungkapungkapon. Namun dari prinsip keperintisan kampung perlu ada pemahaman khusus atas penggunaan kata huta, lumban, dan sosor dalam konteks perkampungan Batak. Atau dalam tingkat terendah menggunakan kata lobu. Satu-satunya perkampungan yang menggunakan kata huta disiamakpandan (Desa Tipang) adalah Hutasoit. Huta dianggap sebagai induk perkampungan. Lumban dan sosor merupakan perluasan kampung induk.

Sejumlah perkampungan yang dirintis kembali di Siamakpandan (Desa Tipang) menggunakan istilah atau kata banjar. Penggunaan kata itu setidaknya seperti menghilangkan prinsip penggunaan kata huta, lumban, sosor, dan lobu. Perkampungan yang menggunakan kata banjar digunakan oleh sejumlah kelompok keluarga marga Manalu. Malahan salah satu perkampungan marga Nababan ada dengan nama Banjar Dolok dan berada di bagian atas perkampungan Hutasoit. Struktur keperintisan iperkampungan di Siamakpandan (Desa Tipang) menimbulkan pertanyaan khusus ketika satu-satunya yang konsiten menggunakan kata huta adalah Hutasoit yang identifikasi namanya dalam konteks marga disebut Borsak Bimbinan. Keempat marga atau anak Sihombing memang menggunakan nama khusus borsak sebelum dikenal sebagai marga. Marga Silaban dikenal dengan nama Borsak Junjungan, Marga Lumbantoruan dikenal dengan nama Borsak Sirumonggur, dan marga Nababan dikenal dengan nama Borsak Mangatasi. Kata borsak secara khusus tidak ditemukan dalam kamus. Kata itu secara arkaif mungkin berarti anak lelaki.

Khusus marga Lumbantoruan kemudian mengemban marga Sihombing dikaitkan dengan cerita khusus pembagian tanah. Hal itu juga dimiliki marga Debataraja yang sering mengemban marga Simamora. Lumbantoruan mungkin saja nama yang muncul kemudian setelah Sihombing tidak menyediakan tanah lagi di bagian atas Siamakpandan. Jadi sesuai dengan kata lumban dan toruan, bentukan lumbantoruan terakit dengan perluasan kampung di bagian bawah. Borsak Sirumonggur (Lumbantoruan) dari sifat kata itu membuat perkampungannya lebih dekat ke danau dengan kemungkinan lain dari klaim nama bapaknya Sihombing dan identifikaasi Pulau Sirungkungan sebagai warisan untuk Sihombing.

Sebaliknya Borsak Bimbinan (Hutasoit) menjadi spesial dari sifat bentukan kata huta dan soit. Nama Hutasoit sebagai perkampungan sudah pasti terkait dengan perkampungan awal Siraja Sumba. Namun secara khusus kata soit dikaitkan dengan suara burung atau tumbuhan tertentu yang banyak ditemukan di perkampungan itu. Nama perkampungan menjadi marga populer bagi Borsak Bimbinan dan Borsak Sirumonggur. Sedangkan Borsak Junjungan (Silaban) dan Borsak Mangatasi (Nababan) kemudian tidak sering dikaitkan dengan sifat pembentukan perkampungan. Sehingga klaim perkampungan kedua sub-marga itu hanya menggunakan kata banjar dan tergantung homban, situs mata air. Malahan marga Silaban tidak terlalu berpretensi mencari perkampungan awalnya di Siamakpandan karena situs mata air (homban) sub-marga itu ada di Urat Samosir. Sedangkan Lumbantoruan sangat berpretensi menetapkan situs perkampungan marga melalui pembangunan tugu pada tahun 2014 di lahan yang diperkirakan terkait dengan Sihombing,induk dari empat sub-marga.

Tugu Lumbantoruan berdekatan dengan letak Batu Siungkapungkapon. Lahan tempat Batu Siungkapungkapon terletak sebelumnya dibatasi dengan benteng perkampungan Hutasoit. Namun dengan alasan praktis pembangunan jalan yang bisa dilalui kenderaan bermotor, benteng perkampungan dihancurkan dalam proses pembangunan Tugu Lumbantoruan. Batu Siungkapungkapon pun mendapat pemaknaan dan penilaian terbaru untuk kepentingan pariwisata.

Penulis: Salah satu penerima Penghargaan Kebudayaan 2016 dari Kemendikbud. Sehari-hari bekerja sebagai penulis lepas dan sutradara.

Frish H Silaban
Taput/Humbahas
MASPOLIN.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini