Oleh: Akbp Shinto Silitonga, SIK, MSi – Kasubag Opini dan Evaluasi Divisi Humas Polri
Hari ini, Senin (11/11) jabatan Kapolres Gowa resmi diserahkan kepada Akbp Boyke Samola. Dalam suasana santai di SPN Batua, Kapolres Gowa dikejutkan dengan informasi kriminal yang sadistis, pembunuhan di Biringbulu dengan kondisi kepala korban terpenggal. Sontak semua media ingin konfirmasi, dan suasana santainKapolres Gowa menjadi sibuk untuk menjawab telepon yang masuk.
Sebagai praktisi, informasi kriminal sadistis seperti ini perlu dikelola dengan cepat dan akurat oleh narasumber berpengalaman di Polres Gowa. Berandai jika kita adalah wartawan, maka dapat diprediks segmen apa saja yang menarik dari pembunuhan sadistis itu yang dapat diangkat ke publik. Di sisi lain, Polres Gowa tentu saja harus mempertimbangkan kondisi psikologis keluarga korban, mengelola potensi konflik dari aksi balasan, serta melengkapi alat bukti untuk penyidikan.
Sebagai jembatan komunikasi, humas kepolisian harus mampu berkomunikasi ke publik dengan strategi yang tepat. Pertama : tentu saja humas kepolisian dapat membuat konfirmasi dalam press release terbatas tentang benar tidaknya peristiwa, siapa dan bagaimana kondisi korban, dan keterangan utama lainnya. Jika komponen informasi sudah lengkap, humas kepolisian dapat melakukan press confrence dengan menampilkan tersangka dan barang bukti ke publik.
Kedua : penanganan jenazah korban mulai dari otopsi sampai dengan pemakaman perlu disampaikan, akan semakin menarik jika empati kepolisian dapat diaktualisasikan misalnya dengan ikut menandu jenazah hingga ke pemakaman juga dalam acara tahlilan di rumah korban.
Ketiga : publik ingin melihat langkah scientific investigation apa saja yang telah dilakukan pihak kepolisian, sehingga perlu disampaikan dengan liputan di lapangan. Ketiga : humas kepolisian penting untuk meyakinkan publik bahwa kepolisian juga siap mengelola dampak kriminalitas sadistis itu untuk tidak melebar ke potensi konflik akibat aksi balas dendam keluarga korban karena dianggap siri.
Keempat : publik pasti ingin tahu apa motif pelaku sehingga melakukan pembunuhan secara sadis, sehingga humas kepolisian dapat meng-explore motifnya secara rinci. Uji motif dan alibi menjadi hal yang membuat publik semakin neugirig atau ingin tahu, sehingga perlu disampaikan secara bertahap.
Kelima : aspek psikologis pelaku yang kehilangan rasa kemanusiaan sampai melakukan pembunuhan sadistis itu perlu diuji dengan membawa pelaku ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan kejiwaan, dan hasil pemeriksaan tersebut perlu disampaikan dengan tepat.
Keenam : strategi pemenuhan alat bukti dalam proses penyidikan mulai dari pemeriksaan saksi, penyitaan barang bukti, pemeriksaan ahli dan langkah penyidikan lainnya perlu disampaikan tanpa harus mengganggu kerahasiaan penyidikan itu sendiri.
Ketujuh : jika penyajian alat bukti sudah lengkap maka humas kepolisian dapat menampilkan bagaimana penyidik merekonstruksikan peristiwa pembunuhan tersebut. Tentu saja media mendorong rekonstruksi dilakukan di TKP aslinya dengan berbagai alasan, namun semua itu harus diadaptasikan dengan prediksi kerawanan yang mungkin muncul ketika tersangka dibawa kembali ke TKP untuk rekonstruksi.
Kedelapan : penyerahan berkas perkara ke kejaksaan dapat juga menjadi perhatian publik, sehingga perlu disampaikan melalui media. Kendala penyidikan ketika berkas dikembalikan oleh jaksa penuntut umum pun bahkan terkadang tidak luput dari perhatian publik, sehingga penting bagi humas kepolisian untuk menampilkan informasi hingga pemberkasan dinyatakan sempurna dan penyidik menyerahkan tersangka dan barang buktinya ke jaksa penuntut umum.
Humas kepolisian harus memahami apa yang menjadi public information’s need-nya sehingga perlu dikelola dengan baik. Jika strateginya salah, maka dapat saja terjadi hal yang kontraproduktif dan mendiskreditkan kepolisian.










