Oleh: Embie C Noer
Lingkungan masa kecil saya di kota Cirebon adalah kampung yang di kenal oleh warga kota Cirebon sebagai kampung santri. Kampung tempat kelahiran saya ini namanya Kampung Kenduruan. Ki Gede Kenduruan dimakamkan satu komplek dengan makam Sunan Gunung Jati, bersama Ki Gede lainnya.
Tajug, atau musholla kami tidak terlalu besar tapi cukup. Namanya Ar Raudloh. Sepanjang tahun kegiatan di tajug kami lumayan padat. Karena warga kampung Kenduruan yang tinggal di sekitar tajug berprofesi sebagai pedagang kambing, baik kambing hidup, daging kambing, dan kuliner kambing, maka setiap ada kegiatan besar di tajug, akan disajikan makan Nasi Samin atau Nasi Kebuli secara bersama di satu nampan (panjang). Satu nampan untuk berempat tapi untuk anak-anak berenam.
Kegiatan di tajug yang paling spektakuler adalah kegiatan selama bulan Ramadhan. Dari sejak subuh sampai menjelang buka puasa dan tarawih, ada hal-hal yang sangat berkesan. Dari suara wirid khusus ramadhan, koor doa menjelang buka puasa, suara lantang imam pembaca salasilah saat tarawih, dan tadarusan. Klimaksnya ketika kakek saya yang khotbah Iedul Fitri dengan mengenakan baju tradisional Arab lengkap. Baju jubah berlapis-lapis dengan warna coklat tua, kuning gading, putih. Khotbah dalam bahasa Arab. Di tengah khotbah pasti kakek akan menangis tersedu-sedu. Itu bagian paling dramatis sekaligud ditunggu-tunggu, karena itu pertanda khotbah akan segera selesai dan kita akan bergembira memukul kentongan sambil bersalaman. Petasan dari pesantren Dulang Jero pun turut meramaikan.
Singkat kata, kehidupan kami dalam beragama sangat kaya warna. Dramatis. Romantik. Artistik.
Saat lulus madrasah, saya pindah ke kota Solo. Sekolah di SMP Muhammadiyah 3 Simpon. Saya tinggal dengan bapak dan ibu angkat di kampung Kauman. Bapak pengurus ranting Muhammadiyah, sedangkan ibu guru di sekolah keputrian Muhammadiyah dan penceramah (mubalighoh) yang sering diundang di mana-mana. Saya jadi pengawal kalau ibu diundang ceramah di luar kota Solo.
Ada transformasi batin yang sangat berkesan ketika merasakan beberapa perbedaan antara kehidupan di kampung Kenduruan dengan tinggal di Solo dalam lingkungan Muhammadiyah. Tak ada lagi riuh rendah di tajug, di rumah. Sekalipun masih SMP, saya berfikir; apakah ini yang disebut moderen? Simple. Kasual. Minimalis. Fungsional. Bisa jadi istilah yang saya sebut itu tidak tepat. Setidaknya, ada ‘dialog’ yang terus terjadi dalam batin.
Saya tidak memiliki kapasitas untuk membicarakan apalagi mengupas terlalu jauh hal itu. Hanya ingin mengingatkan diri sendiri bahwa berbagai perbedaan itu bukan persoalan tapi satu wilayah dinamis yang sangat menggairahkan dan saling melengkapi. Saya sejak kecil tidak tertarik pada perdebatan tentang hal itu. Karena saya tidak melihatnya sebagai perbedaan tetapi sebagai kekayaan.
Hal itu saat ini muncul kembali dipicu oleh berbagai komentar tentang penampilan menteri pendidikan, Nadiem Makarim. Apakah kita perlu berpakaian? Pasti perlu. Perlukan mengenakan pakaian tertentu?
Model, bentuk, corak, ragam, dalam pakaian mungkin bisa dipersamakan dengan ajaran yang mengatakan; jika kita menerima salam, jawablah salam dengan salam yang lebih baik karena salam adalah doa. Jika kita diundang oleh kenalan untuk menghadiri pernikahan putrinya, maka kita umumnya berusaha hadir dengan penampilan terbaik yang bisa kita lakukan. Saat kita diundang dalam malam anugerah festival film besar yang dihadiri oleh para bintang. Begitulah umumnya.
Apakah salah jika kita berpakaian dengan pakaian yang kita suka? Tidak ada yang salah. Ini bukan soal kebenaran. Ini adalah soal yang berhubungan dengan kebaikan. Tak ada yang salah kita makan menggunakan pispot sebagai mangkuk. Jaman ini jaman fungsional. Apa saja boleh. Yang tidak boleh adalah melanggar kesepakatan bersama. Kita pasti sadar, kejahatan tidak selalu berpakaian rapih dan kebaikan tidak selalu berpakaian compang-camping. Kesepakatan ibarat lampu lalulintas, yang dibutuhkan ketaatannya agar peradaban mengalir dengan harmonis menuju ke keselamatan bersama.
Jadi, bukan formalitas atau informalitas radikal yang harus dipilih, tetapi harmonisasi yang dinamis seperti yang setiap detik diajarkan alam pada kita.
Itu saya kira.










