Oleh: S Stanley Sumampouw
Bertolak pk 12 siang dari Jogja menuju Solo dengan kepenatan yang lumayan. Acara saya yang padat di Jogja dan kondisi kesehatan yang belum pulih pasca stroke membuat saya cepat lelah.
Perjalanan Jogjakarta menuju Solo yang berjarak 30 km bisa ditempuh dengan stengah jam perjalanan dengan santai. Tapi karena kita mampir mampir kemana suka, jadilah perjalanan menjadi molor.
Masuk kota Solo terlihat pengaturan jalan yang semrawut. Jalan kecil di mana2 menghadang dan alur jalan yang di putar serta dialihkan menyebabkan kita gagap menentukan arah.
Gedung gedung baru dibangun berhimpitan dengan bangunan lama sungguh merusak mata dan tidak berestetika.
Terkesan tumpang tindih. Belum lagi mobil patroli polisi yang tidak sabaran ketika terjebak kemacetan dengan membunyikan klakson khasnya terus menerus. Payah!
Ada fly over dalam kota Solo yang kurang berfungsi seakan dibangun hanya untuk mengejar predikat kota modern.
Pembangunan kota Solo terkesan mau dipaksakan menjadi kota modern. Padahal ada baiknya jika pembangunan gedung-gedung baru pemerintahan diarahkan sesuai dengan selera estetika kedaerahan. Akan lebih berbudaya dan tidak terkesan semrawut di mata. Paling tidak dimata saya.
Trus, apa prestasi Walikota Solo Yang sekarang menjadi Presiden jika Pembangunan Kota mengabaikan akar budaya asal kota.
Terus terang saya tidak suka dengan suasana Solo dan saya memutuskan untuk diam dirumah saja hari ini, sekalian juga memulihkan kondisi badan. Agar besok perjalanan Solo – Jakarta saya bisa bertahan selama perjalanan.
Sebagai turis di Solo, saya merasa tidak ada yang begitu bagus dan mendesak untuk saya lihat disini.
Solo, Sabtu 23 Oktober 2021, pk 06.41










