Oleh : Dr. Gatot Eddy Pramono, M.Si
Dalam satu dekade terakhir ada beberapa fenomena sosial politik yang terjadi di tanah air.
Fenomena ini berpengaruh besar pada perubahan gaya hidup dan kebiasaan di tengah masyarakat kita. Fenomena ini Nampak jelas pada saat gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019, juga terlihat pada saat menjelang dan setelah Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017.
Maraknya penggunaan politik identitas berbasis suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dalam konstestasi politik tanah air menyebabkan masyarakat terpolarisasi ke dalam kelompok-kelompok yang seringkali berseberangan. Persatuan,
kesatuan dan keutuhan bangsa mendapat ujian berat pada saat itu dengan munculnya perilaku intoleran, radikalisme, konflik sosial, hingga aksi anarkis.
Kondisi tersebut diperparah dengan banyak beredar berita bohong (hoax), ujaran kebencian (hate speech) dan radikalisme. Saat ini struktur masyarakat di tanah air yang didominasi oleh
kelompok kelas bawah (low class) dimana mereka lemah secara intelektual dan pendidikan (low educated), kurang beruntung secara ekonomi dan keuangan (less fortunate people), rendah tingkat literasi dan rasionalitas. Kelompok low class memiliki kecendeungan kurang
kritis dalam menerima informasi, belum dewasa dalam berdemokrasi dan menginginkan perubahan yang cepat serba instan sehingga memiliki potensi konflik yang besar dan perpecahan yang tinggi.
Revolusi dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi melahirkan banyak platform media sosial yang memungkinkan masyarakat mengakses informasi secara bebas tanpa terbatas. Bahkan masyarakat juga memiliki kesempatan untuk menyebarkan informasi melalui berbagai akun di media social mereka, seperti Facebook, Twitter, YouTube, Instagram, grup-grup WhatsApp dan lainnya. Jadilah masyarakat bertindak sebagai sumber
informasi, pengguna insformasi sekaligus penyebar informasi. Namun tidak jarang informasi tersebut tidak valid, belum dikonfirmasi kebenarannya, bahkan tidak jarang beberapa orang dengan sengaja menyebar informasi bohong (hoax) atau kalimat yang bernuansa ujaran kebencian (hate speech).
Masyarakat low class juga memiliki tingkat rasionalitas yang rendah, berpikiran tertutup dan lebih mengedepankan emosi ketika menyikapi situasi. Mereka lebih senang mencari informasi yang sesuai dengan cara pandangnya untuk memperkuat pendapatnya daripada mencari fakta untuk menemukan kebenaran. Sebagian besar mereka secara massif menyebarkan informasi yang menurutnya benar di akun-akun medsos. Yang mereka cari adalah pembenaran bukan lagi kebenaran. Inilah fenomena post truth (pasca kebenaran) yang saat ini terjadi di tanah air, bahkan dunia.
Era Post Truth
Istilah post truth sendiri menjadi kata yang booming pada tahun 2016. Kata ini begitu terkenal sehingga dinobatkan oleh Kamus Oxford sebagai “Word of the Year” pada tahun tersebut. Namun sebenarnya, apakah post truth itu? Menurut Kamus Oxford, frasa post-truth digunakan pertama kali pada tahun 1992. Istilah itu diungkapkan oleh Steve Tesich dimajalah The Nation, ketika merefleksikan kasus Perang Teluk dan kasus Iran yang terjadi di periode tersebut.
Tesich mengungkapkan bahwa sebagai manusia yang bebas, kita punya kebebasan untuk menentukan ingin atau tidaknya hidup di dunia post truth. Sehingga, post truth dapat didefinisikan sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Dengan kata lain, masyarakat dalam menerima informasi dan menentukan suatu keputusan lebih berdasarkan pada dorongan emosi serta apa yang diyakininya saja dengan mengabaikan fakta-fakta yang sesungguhnya.
Perkembangan post truth yang begitu cepat tidak lain karena juga didorong dengan penggunaan media online termasuk media sosial yang sedang menjadi trend di masyarakat Indonesia. Media sosial sekarang bukan saja dijadikan sebagai ajang berinteraksi, namun juga ladang memperoleh informasi utama. Namun, jika ditinjau dengan lebih cermat, media sosial
ternyata belum mampu menjadi ladang informasi yang tepat bagi masyarakat, khususnya di Indonesia, karena mengingat informasi yang ada di media sosial bersifat trend. Bersifat trend berarti apabila sesuatu menjadi bahan perbincangan yang viral, maka media sosial akan terus menerus menghasilkan informasi hal yang menjadi viral tersebut.
Perlu diketahui bahwa media sosial terkadang menampilkan informasi yang tidak utuh dan akurat, bahkan cenderung hoax. Hal ini dikarenakan informasi atau kabar yang ada di media sosial bukan termasuk ke dalam jurnalisme, sehingga tidak terdapat disiplin verifikasi dan unsur 5W+1H (What, When, Where, Who, Why + How). Selain tidak sesuai kaidah jurnalistik, media sosial juga menembus ruang pribadi dan belum ada etika serta regulasinya tentang ini.
Belum lagi ditambah dengan fakta bahwa negara Indonesia masih memiliki tingkat literasi masyarakat yang tergolong rendah. Hal tersebut juga menjadi faktor mudah terbawanya masyarakat kepada arus kesesatan informasi yang nyata. Selanjutnya, media sosial kini disebut-sebut sebagai pilar ke lima demokrasi Indonesia. Jika media sosial sebagai pilar demokrasi justru menjadi sarang penyebaran post truth, tentu ini sangat berpengaruh pada demokrasi Indonesia sendiri.
Dampak negatif post truth terlihat jelas ketika negeri kita tercinta mengalami bencana pandemi Covid-19. Seseorang yang sudah telanjur terkena post-truth dalam konteks sebelum pandemi mungkin tidak akan begitu meresahkan, namun di saat pandemi post truth bisa
sangat membahayakan. Sebagai contoh seseorang yang meyakini pandemi sebatas konspirasi belaka bisa saja enggan mematuhi protokol kesehatan yang menjadi himbauan pemerintah.
Apabila seseorang tersebut terjangkit virus covid-19 dalam kondisi meyakini bahwa ia hanya “dicovidkan”, maka keselamatan orang-orang sekitarnya akan terancam.
Contoh lainnya adalah ketika seseorang memercayai bahwa program vaksinasi yang tengah digalakkan pemerintah ialah tidak lebih dari akal-akalan elit global, kemudian ia mengkampanyekan gagasannya tersebut dalam media sosial (medsos). Bisa jadi beberapa orang yang membacanya juga kemudian turut memercayai dan menyebarkannya terus menerus. Dampaknya program vaksinasi yang tidak mudah dan tidak murah tersebut bisa saja terancam gagal. Sangat mudah menemukan contoh lain dampak dari post-truth tersebut di era ini, yang jelas terlihat ialah dampaknya yang sangat korosif.
Berdasarkan situs resmi penanggulangan covid-19 Indonesia, covid19.go.id, diketahui bahwa per 30/12/2021 saja sudah terdapat 4,26 juta lebih kasus positif covid-19 di Indonesia, 144 ribu diantaranya meninggal dunia. Apabila publik semakin mempercayai narasi yang disebarkan oleh kelompok pecinta “teori konspirasi”, maka angka tersebut sangat mungkin bertambah dalam beberapa waktu dekat ini. Dampaknya, manusia tidak lebih sebatas angka-angka statistik semata di hadapan pandemi yang mematikan ini.
Post-truth ini menjadi semakin mengkhawatirkan pasca teknologi internet berkembang sangat pesat seperti sekarang ini. Asumsi pribadi yang sangat mungkin salah bisa tersebar begitu cepat dan juga merepresentasikan asumsi kolektif publik. Dampaknya, temuan-temuan ilmiah akan diabaikan. Dalam konteks ini penggunaan media online dan medsos sebagai kanal komunikasi masyarakat modern harus sangat bijak, utamanya saat tengah terjadi pandemi seperti sekarang ini.
Industri media dan para jurnalis memiliki tanggung jawab moral untuk meminimalisir dampak negatif dari post truth. Mereka dapat secara aktif meningkatkan daya literasi masyarakat sehingga mampu menyaring, memilah dan memilih informasi yang masuk.
Revolusi Teknologi Informasi dan Komunikasi
Tentangan kedua yang dihadapi industry media saat ini adalah perkembangan teknologi informasi yang luar biasa. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menimbulkan berbagai dampak diberbagai bidang di masyarakat. Industri media sekarang ini bertransformasi mengikuti perubahan teknologi informasi dan komunikasi yang penyajiannya lebih mudah, murah, dan cepat. Keberadaan ”new media” telah menggeser kedudukan media lama. Kehadirannya telah membawa banyak perubahan pada pola kehidupan masyarakat, budaya, dan cara berpikir masyarakat di hampir segala aspek kehidupan manusia.
Kehadiran media baru (new media) ini akan menggeser media massa konvensional. Media baru tersebut juga diyakini akan mengubah pola hidup masyarakat. Bagaimanapun juga, era digital telah mengubah cara penyajian materi media sehingga lebih mudah, murah, dan cepat dinikmati oleh masyarakat. Kehadiran internet yang diikuti dengan munculnya beragam situs jejaring sosial ini membawa perubahan signifikan pada dunia media. Media massa mau tak mau harus mengikuti arus teknologi yang sedemikian cepat menyesuaikan kebutuhan konsumennya. Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi menjadi pemicu pertumbuhan penggunaan internet.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa tren baru di dunia industri media. Hadirnya beragam media yang menggabungkan teknologi komunikasi baru dan teknologi komunikasi massa tradisional. Memberikan pilihan kepada khalayak untuk memilih informasi sesuai selera mereka. Memberi kesempatan baru yang radikal dalam penanganan, penyediaan, distribusi, dan pemrosesan seluruh bentuk informasi, baik bersifat visual, audio, data, dan lain sebagainya. (Preston: 2001).
Inilah yang kemudian memunculkan istilah konvergensi media, yaitu penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik
tujuan. Konvergensi atau penyatuan antara media cetak, online, televisi, dan radio. Tanpa konvergensi, dalam 5 tahun hingga 10 tahun ke depan, media cetak di Indonesia akan sulit untuk bersaing dan bertahan hidup.
Konvergensi media yang mengarah pada tren digitalisasi media akan menciptakan kesenjangan dalam penyebaran informasi kepada warga masyarakat yang tidak memiliki daya beli dan akses terhadap informasi. Internet dan komputer berperan besar dalam konvergensi media. Konvergensi akan menjadikan media lama dan media baru hidup bersama dan saling berinteraksi. Munculnya fenomena konvergensi media menyebabkan banyak bentuk media tradisional melakukan perubahan. Pesatnya perkembangan teknologi sekarang ini, mau tak mau menuntut para produsen berlomba-lomba menjadi yang pertama.
Disisi lain, industri media dan para jurnalis juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal konsolidasi demokrasi menuju masyarakat yang benar-benar demokratis, beradab dan rasional. Struktur masyarakat yang didominasi oleh kelompok menengah
(middle class) akan memastikan demokrasi tumbuh ke arah yang positif, pembangunan berjalan baik, investasi dan ekonomi lebih bergairah, hingga akhirnya masyarakat akan makmur dan sejahtera.
(* Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Wakil Kasatgas Investasi).










