MASPOLIN || BOJONEGORO – Sore ini, suara azan magrib terdengar di semua sudut, tanda berbuka puasa telah tiba. Orang-orang akan bergegas membatalkan saurnya, seperti biasa. 

Namun, ada hal yang sedikit berbeda di sini. Tepatnya di Desa Plesungan Gang Sawo, ada satu rumah warga dihiasi oleh lampu colok. Rupanya, menyalakan lampu colok merupakan tradisi turun temurun yang dilaksanakan setiap malam ke-29 bulan Ramadan (malam songo).

Coloksendiri, dalam KBBI memiliki arti suluh yang dibuat dari kain usang dan sebagainya yang terpilin dan dicelupkan ke dalam minyak. Colok merupakan kata yang diserap dari bahasa Jawa, sebagai lentera semacam obor yang nyalanya hanya sebentar.

Tradisi nyumet colok (menyalakan lampu colok) bukan sekadar untuk hiasan, tetapi rupanya memiliki makna yang begitu filosofis.

“Kalau kata Mbah Mbah zaman dulu, para keluarga yang telah meninggal akan pulang berkunjung. Ini sebagai bentuk penghormatan,” ujar Salah satu Warga Tersebut.

Tidak hanya itu, colok yang nyalanya hanya sebentar ini rupanya juga mengingatkan kita bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Umur, harta, anak, semuanya hanya titipan.

Maka, dengan dinyalakannya colok ini, akan membuat kita bermuhasabah diri dan harapan semoga bisa bertemu bulan Ramadan di tahun depan.

Namun seiring Perkembangan Jaman di era modernisasi, colok colok malem songo ini seakan hilang, Musnah di telan Bumi, hanya segelintir orang saja yang melaksanakan tradisi tersebut.

GONDRONG

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini