Oleh: S Stanley Sumampouw

Ketika kecil sampai masa remaja, tahun 60an sampai tahun 70an, kami tinggal disuatu komplek perumahan BUMN milik instansi pemerintah besar di jaman itu. Ayah tiri saya mengawali karirnya bekerja di perusahaan BUMN tersebut sebagai salah satu Kepala Bagian disana.
Komplek perumahan tersebut terdiri dari seratusan kepala keluarga dan terletak dijantung kota Jakarta Selatan atau Kebayoran Baru yang saat ini diapit antara komplek SCBD dan komplek mentri di Gatot Subroto.

Seingat saya hampir semua suku dan agama tinggal di komplek perumahan tersebut.
Ada Padang, Sunda, Jawa, Banten, Tionghoa, Menado, Ambon, Sumbawa dan lain-lain.
Ada beberapa kawan masa kecil saya yang sama-sama besar di komplek tersebut yang hingga saat ini masih berkawan.
Kehidupan kami di komplek sangat rukun, saya ingat ketika hari Raya Lebaran saya diajak oleh ayah ibu untuk “ngider” dari rumah ke rumah bertamu untuk mengucapkan selamat lebaran dan menikmati berbagai makanan dan kue-kue Lebaran. Suasana sangat santai dan penuh kerukunan yang ceria dan riang gembira.
Demikianpun bila Hari Natal tiba. Sejak pagi pulang dari gereja rumah kita sudah dibuka lebar. Pintu samping yang biasanya jarang dibuka sekarang dibuka lebar-lebar agar tamu masuk dari pintu mana saja dan dapat langsung ke ruang makan. Ini saatnya warga komplek yang berlainan agama akan gantian “ngider” kerumah-rumah warga yang merayakan Natal.
Pokoknya, hari raya agama apa saja akan merupakan kesenangan dan kebahagiaan bagi semuanya.

Berpuluh tahun kemudian, hari ini, kita menyaksikan keadaan yang sama sekali lain dan bertolak belakang. Setiap menjelang Natal, perdebatan antara kaum muslim sendiri soal boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal terus mengemuka menjadi tradisi tahunan. Kami hanya bisa tertawa melihat “acara tahunan” ini dan akhirnya masa bodoh. Tokh… pada akhirnya perayaan Natal kami tetap berjalan dengan apa adanya.

Saya tidak ingin mendebat apalagi ikut campur dalam urusan agama orang lain. Tetapi saya bertanya-tanya dalam hati, apakah orang-orang muslim jaman dulu lebih longgar beragamanya ketimbang orang-orang jaman sekarang yang sudah sangat taat? Atau agama Islam yang berkembang sedemikian hebatnya dijaman ini sehingga memunculkan ketaatan yang luar biasa bagi para pemeluknya?

Lalu kenapa jaman sekarang semakin banyak kejahatan, korupsi merajalela, kerusuhan agama, toleransi beragama yang kurang sampai dengan berbagai paham radikalisme dan terorisme marak berkembang di negara kita yang bernama Indonesia ini? Bukankah istilah “Terpapar” adanya dijaman sekarang ini?

Lalu bagaimana dengan anak-anak kami yang menjadi muslim? Apakah mereka tidak boleh mengucapkan selamat Natal kepada kami, orang tuanya, yang telah membesarkan, mendidik dan menyekolahkan mereka serta mengantarkan mereka sampai sukses seperti sekarang?

Kalau boleh memilih, saya ingin suasana tahun 60-70an saja dimana suasana kerukunan dalam kebahagiaan beragama dikembalikan saja kepada kami. Saya merindukan indahnya kehidupan beragama seperti dulu.

Cinere Limo, Jumat 27 Desember 2019, pk 06.24.


TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini