Diterjemahkan dari liputan berjudul “What Really Happened to Malaysia’s Missing Airplane” oleh Prima Sulistya dan Edo W Adityawarman.

???? ??ℎ?? ???? ??????? ??? ?????? ?? ???????? ??????. ??????? ?? ????? ??ℎ? ????ℎ ?????? ???????? ???? ?????? ?????? ?????????.

oleh: WILLIAM LANGEWIESCHE
diterbitkan THE ATLANTIC, 17 Juni 2019

?. ??????????

Pada pukul 00.42 di malam terang yang hening tanggal 8 Maret 2014, sebuah Boeing 777-200ER yang dioperasikan Malaysia Airlines lepas landas dari Kuala Lumpur dan berputar ke arah Beijing, menanjak ke ketinggian terbang seharusnya pada 35.000 kaki. Kode untuk Malaysia Airlines adalah MH. Nomor penerbangannya 370. Fariq Hamid, kopilot, menerbangkan pesawat itu. Ia berusia 27 tahun. Ini adalah penerbangan latihan untuknya, yang terakhir kali; ia akan segera mendapatkan sertifikat. Pelatihnya adalah pilot yang bertugas (pilot in command, PIC), seorang pria bernama Zaharie Ahmad Shah yang di usia 53 tahun menjadi salah satu kapten paling senior di Malaysia Airlines. Mengikuti adat Malaysia, ia dipanggil dengan nama depannya, Zaharie. Ia sudah menikah dan mempunyai tiga anak yang telah dewasa. Ia tinggal di perumahan yang dijaga satpam. Ia punya dua rumah. Di rumah pertama ia memasang simulator penerbangan rumit buatan Microsoft. Ia sebentar-sebentar memakainya, dan sering memposting hobinya tersebut di forum online. Di kokpit itu, Fariq akan bersikap hormat kepadanya, tapi Zaharie dikenal bukan pribadi yang superior.

Di dalam kabin ada 10 awak, semuanya orang Malaysia. Mereka melayani 227 penumpang, termasuk lima anak-anak. Mayoritas penumpang adalah orang Tiongkok; sisanya, 38 orang Malaysia, dan secara berurutan dari yang terbanyak adalah penumpang dari Indonesia, Australia, India, Prancis, Amerika Serikat, Iran, Ukraina, Kanada, Selandia Baru, Belanda, Rusia, dan Taiwan. Di dalam kokpit malam itu, sembari Kopilot Fariq menerbangkan pesawat, Kapten Zaharie menangani radio. Pengaturan seperti itu standar. Komunikasi Zaharie yang sedikit tak biasa. Pada pukul 01.00 ia mengabari pemandu lalu lintas udara (air traffic controller, ATC) bahwa mereka sudah mencapai ketinggian 35.000 kaki—laporan radar udara yang tak perlu ketika biasanya yang dilaporkan adalah mengganti ketinggian, bukan mencapai. Pada pukul 01.08 penerbangan itu melintasi garis pantai Malaysia dan akan melalui Laut China Selatan menuju Vietnam. Zaharie kembali melaporkan ketinggian pesawat di 35.000 kaki.

Sebelas menit kemudian, selagi pesawat itu mendekat ke sebuah titik perlintasan dekat batas yurisdiksi lalu lintas udara Vietnam, kontroler di Kuala Lumpur Center mengontak radio, “Malaysia tiga-tujuh-nol, kontak Ho Chi Minh satu-dua-nol-desimal-sembilan. Selamat malam.” Zaharie menjawab, “Selamat malam. Malaysia tiga-tujuh-nol.” Ia tak ikut menyebut nomor frekuensinya, yang seharusnya ia lakukan, tapi komunikasi itu masih terdengar normal. Itulah yang terakhir kali dunia dengar dari MH370. Para pilot itu tak pernah melapor ke Ho Chi Minh ataupun menjawab usaha-usaha menghubungi mereka.

Radar utama bergantung pada bunyi mentah dan sederhana dari objek-objek di langit. Sistem ATC menggunakan apa yang disebut radar pengawasan sekunder. Radar sekunder mendeteksi sinyal transponder (transmitter responder; pengirim, penerima, dan penguat sinyal) yang ditransmisikan tiap pesawat serta mengandung lebih banyak informasi—misalnya, identitas pesawat dan ketinggian—dibanding radar utama. Lima detik setelah MH370 memasuki ruang udara Vietnam, simbol dari transpondernya keluar dari layar-layar ATC Malaysia, dan 37 detik kemudian keseluruhan pesawat menghilang dari radar kedua. Waktu itu pukul 01.21, 39 menit setelah lepas landas. Kontroler di Kuala Lumpur sedang menangani lalu lintas lain di layarnya sehingga tak memperhatikan. Ketika ia akhirnya menyadari, ia menduga pesawat itu sudah di tangan Ho Chi Minh, tempat yang di luar jangkauannya.

Para kontroler Vietnam, sementara itu, melihat MH370 melintas di ruang udara mereka dan kemudian hilang dari radar. Mereka jelas salah memahami kesepakatan resmi bahwa Ho Chi Minh harus segera memberi tahu Kuala Lumpur jika ada pesawat yang sudah dialihtangankan lebih dari lima menit terlambat melapor. Mereka mencoba berulang kali mengontak kapal terbang itu, sia-sia. Pada saat mereka mengangkat telepon untuk memberi tahu Kuala Lumpur, sudah lewat 18 menit sejak hilangnya MH370 dari layar-layar radar mereka. Apa yang terjadi selanjutnya adalah cerminan kebingungan dan ketidakterampilan. Pusat Koordinasi Penyelamatan Udara (Aeronautical Rescue Coordination Centre, ARCC) Kuala Lumpur seharusnya sudah diberi tahu kurang dari satu jam sejak hilangnya pesawat. Pada 02.30, hal itu belum dilakukan. Empat jam berlalu baru tanggap darurat akhirnya dimulai, pada pukul 06.32.

Saat itu, pesawat harusnya sudah mendarat di Beijing. Pencarian dimulai terpusat di Laut China Selatan, antara Malaysia dan Vietnam. Ini usaha internasional yang melibatkan 34 kapal dan 28 pesawat dari 7 negara berbeda. Tapi MH370 tak berada di sekitar situ. Dalam hitungan hari, rekaman radar utama diamankan dari komputer ATC dan dengan sokongan sebagian data rahasia angkatan udara Malaysia, terungkap bahwa begitu MH370 menghilang dari radar kedua, pesawat berbelok tajam ke barat daya, terbang melintasi Semenanjung Malaya lagi, dan berputar di sekitar Pulau Pinang (Penang). Dari sana ia terbang di atas sisi barat laut Selat Malaka dan mengarah ke Laut Andaman, tempat ia kabur dari jangkauan radar menuju kegelapan. Perubahan arah penerbangan itu makan waktu lebih dari satu jam dan tidak seperti lumrahnya pembajakan pesawat. Peristiwa ini juga tidak seperti kecelakaan atau skenario pilot bunuh diri yang pernah terjadi dulu-dulu. Sejak awal, MH370 mengarahkan penyelidik ke arah yang belum pernah diketahui.

Misteri yang menyelimuti MH370 menjadi sumber serangkaian investigasi dan sesekali ajang spekulasi oleh publik yang resah. Kehilangan ini memukul para keluarga di empat benua. Bayangan bahwa sebuah mesin canggih, dengan peralatan modern dan komunikasi tanpa putus, bisa begitu saja lenyap tampaknya di luar kemungkinan. Email saja sulit dihapus permanen, dan hampir mustahil orang hidup di luar jaringan meski bisa dicoba. Sebuah Boeing 777 dibuat untuk bisa diakses secara elektronik setiap saat. Hilangnya pesawat ini memancing sejumlah besar teori. Banyak yang tak masuk akal. Tapi semuanya dihidupi oleh fakta bahwa, di zaman ini, pesawat komersial tak lenyap begitu saja.

Namun, itulah yang terjadi pada pesawat ini, dan lebih dari lima tahun kemudian letak bangkainya pun tak diketahui. Walau begitu, masalah besar bagaimana pesawat ini hilang sudah makin jelas, dan menyusun ulang apa yang terjadi malam itu kini niscaya. Perekam suara kokpit dan perekam data penerbangan mungkin tidak akan pernah ditemukan, tapi apa yang perlu kita ketahui asalnya bukan dari kotak hitam. Justru, asalnya harus dari Malaysia.

?. ???????? ??????

Pada malam hilangnya pesawat itu, seorang Amerika paruh baya bernama Blaine Gibson sedang duduk di rumah almarhum ibunya di Carmel, California, menyortir barang-barang mendiang agar rumah itu bisa dijual. Ia mendengar berita MH370 dari CNN.

Gibson, yang saya temui baru-baru ini di Kuala Lumpur, punya gelar pengacara tapi tak praktik. Ia berdomisili di Seattle selama lebih dari 35 tahun tapi cuma sebentar menghabiskan waktu di sana. Bapaknya, yang sudah meninggal puluhan tahun lalu, adalah veteran Perang Dunia I yang selamat dari serangan gas mustard di parit pertahanan, menerima medali Bintang Perak karena keberaniannya, dan mengabdi sebagai kepala Mahkamah Agung Negara Bagian California selama 24 tahun lebih. Ibunya lulusan Sekolah Hukum Stanford dan seorang pencinta lingkungan yang berapi-api.

Gibson anak tunggal. Ibunya suka bepergian ke luar negeri, dan mengajak anaknya. Di usia 7 tahun ia memutuskan tujuan hidupnya adalah kelak mengunjungi semua negara di dunia minimal sekali. Pada akhirnya cita-cita ini jadi sulit karena apalah definisi berkunjung dan negara, tapi ia tetap pada misinya, meninggalkan peluang karier yang mapan dan bertahan hidup dengan warisan seadanya. Menurut pengakuannya sendiri, sepanjang petualangannya ia sudah mampir ke sejumlah tempat misteri terkenal–sisa peradaban Maya di rimba Guatemala dan Belize, ledakan meteor Tunguska di Siberia timur, dan lokasi Tabut Perjanjian di pegunungan Ethiopia. Ia mencetak kartu nama dengan keterangan: petualang. penjelajah. pencari kebenaran. Ia memakai topi fedora, seperti Indiana Jones. Ketika berita menyampaikan hilangnya MH370, ia cenderung menaruh perhatian.

Meski pejabat Malaysia bertabiat abai, dan angkatan udara Malaysia sudah mentok, fakta di balik jalur aneh pesawat itu segera tampak. Ternyata MH370 lanjut terhubung sebentar-sebentar dengan sebuah satelit geostationer di Samudra Hindia yang dioperasikan Inmarsat, sebuah perusahaan komersial di London, selama enam jam setelah pesawat menghilang dari radar kedua. Ini artinya pesawat itu tidak mendadak mengalami bencana tertentu. Selama enam jam itu ia diperkirakan tetap melaju cepat di ketinggian sangat tinggi. Kontak dengan Inmarsat ini, beberapa di antaranya disebut “jabat tangan”, berupa dengung elektronik: koneksi rutin dalam bentuk pesan bisikan yang sangat lirih, karena muatan informasi dari sistem pesawat–hiburan penumpang, pesan dari kokpit, laporan pemeliharaan otomatis –telah dikunci atau dimatikan. Secara keseluruhan, ada tujuh kontak: dua dimulai otomatis oleh pesawat, dan lima lainnya dimulai otomatis oleh stasiun Bumi Inmarsat. Juga ada dua kali panggilan telepon satelit; semuanya tak diangkat tapi memberi data tambahan. Sebagian besar kontak ini lalu dikaitkan dengan dua nilai yang langsung di-log Inmarsat.

Yang pertama dan lebih akurat adalah nilai yang dikenal sebagai “burst-timing offset”, atau akan saya sebut “nilai jarak”. Ini adalah ukuran waktu transmisi ke dan dari pesawat, dan dengan begitu artinya ukuran jarak pesawat dari satelit. Ia bukan menandai satu lokasi, melainkan semua lokasi yang radius jaraknya sama–menghasilkan tujuh lapis lingkaran yang menunjukkan berbagai kemungkinan. Mengingat batas jangkauan MH370, lingkaran-lingkaran yang paling dekat dengan jalur terbang pesawat bisa direduksi menjadi busur-busur. Busur yang terpenting adalah yang ketujuh sekaligus terakhir–dihasilkan dari jabat tangan paling akhir, yang mengaitkan habisnya bahan bakar dengan kegagalan mesin utama. Busur ketujuh merentang dari Asia Tengah di utara sampai sekitar Antartika di selatan. Busur ini dilewati MH370 pada jam 08.19 waktu Kuala Lumpur. Berbagai penghitungan jalur penerbangan yang mungkin dilalui memosisikan persimpangan pesawat dengan busur ketujuh–dan dengan demikian titik akhirnya–ada di Kazakhstan jika pesawat berbelok ke utara, atau di selatan Samudera Hindia jika berbelok ke selatan.

Analisis teknis mengindikasikan dengan hampir pasti bahwa pesawat berbelok ke selatan. Kita mengetahui ini dari nilai kedua yang dicatat Inmarsat–”burst-frequency offset”. Demi menyederhanakan, saya akan menyebutnya “nilai Doppler”, karena mengandung, yang terpenting, pengukuran efek Doppler dari frekuensi gelombang radio dikaitkan dengan gerak kecepatan tinggi terhadap posisi satelit, dan merupakan hal lumrah dalam komunikasi satelit dengan pesawat yang sedang terbang. Efek Doppler harus diprediksi dan dibalas lewat udara agar komunikasi satelit berfungsi. Namun pembalasannya tidak terlalu sempurna, karena satelit–khususnya ketika sudah berumur–tidak mentransmisikan sinyalnya tepat seperti yang sudah diprogramkan penerima sinyal pesawat. Orbit mereka bisa sedikit miring. Mereka juga dipengaruhi suhu. Ketidaksempurnaan ini menyisakan jejak petunjuk. Meskipun catatan efek Doppler dulu-dulu tidak pernah digunakan untuk menentukan lokasi pesawat, para teknisi Inmarsat di London bisa menangkap bahwa penyimpangan itu tanda pesawat membelok ke selatan pada pukul 02.40. Titik belok di antara utara dan barat Sumatra, pulau paling utara Indonesia. Diperkirakan, menurut risiko analitis tertentu, pesawat tersebut terbang lurus dan di ketinggian tetap dalam waktu sangat lama menuju arah Antartika, yang berada di luar jangkauannya.

Setelah enam jam, data Doppler mengindikasikan tukikan tajam–sebesar lima kali lebih besar dari nilai tukikan normal. Dalam satu atau dua menit selama melintasi busur ketujuh, pesawat itu terjun ke samudra, kemungkinan badan pesawat telah rontok sebelum menumbuk air. Dinilai dari bukti elektronik, tindakan ini bukan pendaratan air yang terencana. Pesawat itu mestinya hancur seketika menjadi jutaan bagian. Tapi tak ada yang tahu di mana tumbukan terjadi, apalagi alasannya. Dan tak ada yang punya bukti fisik sekecil apa pun untuk menegaskan bahwa interpretasi satelitnya memang benar.

Tak sampai seminggu setelah hilangnya pesawat, The Wall Street Journal menerbitkan laporan pertama tentang transmisi satelit tersebut, menunjukkan bahwa pesawat kemungkinan besar masih terbang tinggi berjam-jam sampai akhirnya tak terdeteksi. Pejabat di Malaysia akhirnya mengakui keterangan itu benar. Pemerintah Malaysia konon adalah salah satu yang paling korup di kawasan tersebut. Mereka juga terbukti sembunyi-sembunyi, waswas, dan tak bisa diandalkan saat melakukan investigasi pesawat ini. Para penyelidik kecelakaan yang dikirim dari Eropa, Australia, dan Amerika Serikat terkejut dengan kekacauan yang mereka temui. Karena Malaysia menahan informasi yang mereka tahu, pencarian awal di laut telah difokuskan ke tempat yang salah–Laut China Selatan–sehingga tak menemukan puing-puing yang mengambang. Jika saja Malaysia langsung mengatakan kebenarannya, puing semacam itu mungkin ditemukan dan bisa dipakai mengidentifikasi perkiraan lokasi pesawat; kedua kotak hitam pun mungkin didapat. Penyelaman mencari kotak hitam akhirnya dipusatkan pada petak sempit di samudra yang ribuan mil dari tempat pencarian semula. Tapi petak kecil di samudra tetaplah tempat yang luas. Butuh dua tahun untuk menemukan kotak hitam Air France 447, yang menghantam Samudra Atlantik saat terbang dari Rio de Janeiro ke Paris pada 2009–padahal para pencari tahu persis di mana harus mencari.

Pencarian awal menyusuri permukaan air berakhir pada April 2014, setelah hampir dua bulan sia-sia bekerja, dan fokus dialihkan ke kedalaman samudra, yang masih berlangsung sampai hari ini. Blaine Gibson mengikuti situasi mengecewakan ini mulanya dari jauh. Ia menjual rumah ibunya dan pindah ke Segitiga Emas di Laos, tempat ia dan rekan bisnisnya memulai sebuah restoran di Sungai Mekong. Ia mengikuti grup diskusi Facebook yang berkutat pada hilangnya MH370. Meski grup itu dipenuhi spekulasi, ada juga info yang mengandung pendapat berguna tentang apa yang barangkali terjadi pada pesawat itu dan di mana rongsokan utamanya mungkin ditemukan.

Meski Malaysia bertanggung jawab resmi atas keseluruhan investigasi, mereka kekurangan alat dan ahli untuk mengadakan usaha pencarian dan pelacakan bawah laut; maka Australia, sebagai warga dunia yang baik, mengambil pimpinan. Wilayah Samudra Hindia yang ditandai satelit–sekitar 1.200 mil di barat daya Perth–sangat dalam dan belum terjelajahi sehingga tantangan pertamanya adalah memetakan topografi bawah laut secukupnya agar wahana pemindai sonar bisa aman bermil-mil diseret dari permukaan air. Lantai laut yang dibarisi bukit-bukit berada dalam kegelapan tanpa pernah dimasuki cahaya.

Gibson mulai terpikir, terlepas dari beratnya pencarian bawah air, apakah puing pesawat suatu saat bisa tersapu ombak ke entah pantai mana. Ketika mengunjungi temannya di pesisir Kamboja, ia bertanya apakah mereka pernah menemukan sesuatu. Katanya tidak. Puing tidak mungkin hanyut ke Kamboja dari Samudra Hindia, tapi sampai bangkai pesawat itu ditemukan–dan membuktikan sisi selatan Samudra Hindia memang kuburannya–Gibson terbuka pada semua kemungkinan.

Pada Maret 2015, peringatan setahun hilangnya MH370 diadakan di Kuala Lumpur oleh para kerabat dekat penumpang. Tanpa diundang, dan tak dikenal sebagian besar hadirin, Gibson memutuskan datang. Karena ia tak punya informasi khusus untuk dibagi, kedatangannya menimbulkan pertanyaan. Orang-orang tak punya bayangan soal penggemar. Peringatan diadakan di tempat terbuka sebuah mal, seperti umumnya acara di Kuala Lumpur. Tujuan acara itu selain untuk berduka bersama, juga untuk terus menekan pemerintah Malaysia agar memberi penjelasan. Ratusan orang hadir, kebanyakan dari China. Ada musik sebentar di panggung. Di latar panggung sebuah poster menampilkan siluet Boeing 777, beserta kata DI MANA, SIAPA, KENAPA, KAPAN, OLEH SIAPA, BAGAIMANA, dan juga MUSTAHIL, TAK TERDUGA, LENYAP, dan TANPA PETUNJUK. Pembicara utama adalah perempuan Malaysia muda bernama Grace Subathirai Nathan, yang ibunya ada di penerbangan itu. Nathan adalah pengacara kriminal dengan spesialisasi hukuman mati, vonis yang sering dijatuhkan oleh hukum kejam Malaysia. Ia menjadi salah satu tokoh perwakilan keluarga. Ia naik panggung menggunakan T-shirt kebesaran dengan sablon gambar kartun MH370 dan tulisan CARI, lalu mulai menceritakan ibunya, cinta mendalam yang ia rasakan kepada beliau, dan susah payahnya menanggung kehilangan beliau. Sesekali ia meneteskan air mata, demikian juga para hadirin, termasuk Gibson. Setelah acara, ia mendatangi Nathan dan bertanya apakah mau menerima pelukan dari orang asing. Nathan mau, dan mereka mulai berteman.

Gibson pulang dari peringatan itu dengan tekad akan menolong dengan cara mengisi ruang kosong yang telah ia sadari–tidak adanya pencarian puing di wilayah pantai. Ini akan menjadi ceruknya. Ia akan menjadi penyisir pantai tak resmi. Penyelidik resmi, terutama Australia dan Malaysia, sudah sangat bertumpu pada pencarian bawah laut. Mereka pasti mencemooh ambisi Gibson, sebagaimana mereka juga pasti mencemooh kemungkinan di pantai ratusan mil jauhnya, Gibson akan menemukan bagian dari pesawat itu.

?. ???????

Samudra Hindia menyapu belasan ribu mil garis pantai, tergantung seberapa banyak pulau yang mau Anda hitung. Ketika Blaine Gibson mulai mencari puing, ia tak punya rencana. Ia terbang ke Myanmar karena ia memang ada urusan di sana, baru pergi ke pantai dan bertanya ke warga desa di mana biasanya barang hanyut terbawa ke darat. Mereka menyebut beberapa pantai, dan seorang nelayan mengantarkannya dengan perahu. Ia menemukan sejumlah puing, tapi tak satu pun bekas dari pesawat. Ia minta tolong kepada warga untuk pasang mata, meninggalkan nomor kontaknya, dan pindah. Hal serupa ia lakukan saat mengunjungi Maladewa serta pulau Rodrigues dan Mauritius tanpa menemukan puing yang diinginkan. Hingga tibalah tanggal 29 Juli 2015. Sekitar 16 bulan setelah pesawat hilang, salah seorang kru bersih pantai di Pulau Réunion milik Prancis menemukan sobekan aerofoil (komponen di sayap pesawat) sepanjang kurang lebih enam kaki yang tampaknya baru saja tersapu ke daratan. Mandor tim itu, pria bernama Johnny Bègue, menyadarinya mungkin berasal dari pesawat, tapi ia tak terpikir pesawat apa. Ia langsung berniat menjadikannya tugu peringatan–menaruhnya di atas lapangan rumput terdekat dan menanam bunga di sekelilingnya–tapi ia justru menelepon radio setempat dan mengabarkan penemuan itu. Satu tim polisi kemudian datang dan mengambil barang tersebut. Barang itu dalam waktu singkat dipastikan merupakan bagian Boeing 777, sebuah permukaan alat kontrol bernama flaperon yang terpasang di tepi belakang sayap pesawat. Pemeriksaan lanjutan atas nomor serialnya menunjukkan barang itu berasal dari MH370.

Inilah bukti fisik yang diperlukan oleh apa yang sudah disimpulkan secara elektronik–bahwa penerbangan itu berakhir buruk di Samudra Hindia, meski masih tak diketahui di mana dan jaraknya ribuan mil dari timur Réunion. Keluarga orang-orang dalam pesawat itu harus berhenti berfantasi bahwa kerabat tercinta mereka mungkin masih hidup. Penemuan ini menjadi guncangan, tak peduli seberapa rasional dan realistis mereka mulanya. Grace Nathan terpukul. Ia berkata kepada saya baru bisa memulai hidup kembali berminggu-minggu setelah flaperon itu ditemukan.

Gibson terbang ke Réunion dan menemui Johnny Bègue di pantainya. Bègue bersikap bersahabat. Ia menunjukkan Gibson di mana flaperon itu ditemukan. Gibson menggali-gali pasir di sekitarnya tanpa berharap menemukan puing lain karena pemerintah Prancis telah melakukan pencarian lanjutan tanpa hasil. Barang yang hanyut di laut butuh waktu untuk mengambang melintasi Samudra Hindia, bergerak dari timur ke barat menuju garis lintang selatan yang lebih rendah, dan sebuah flaperon bisa sampai lebih dulu daripada puing lain karena bagian ini dapat terapung di atas air dan bergerak seperti perahu.

Seorang wartawan koran di Réunion mewawancarai Gibson, tentang kisah kunjungan seorang penyelidik mandiri Amerika. Gibson memakai T-shirt bertuliskan CARI saat itu. Ia lalu terbang ke Australia, di mana ia bicara dengan dua oseanografer—Charitha Pattiaratchi, dari University of Western Australia di Perth, dan David Griffin, yang bekerja di pusat penelitian milik pemerintah di Hobart dan ditunjuk sebagai penasihat Kantor Keselamatan Transportasi Australia, institusi yang memimpin pencarian MH370. Kedua lelaki ini pakar arus dan angin Samudra Hindia. Griffin secara khusus telah menghabiskan bertahun-tahun untuk meneliti alat pelampung cuaca yang sengaja dihanyutkan, dan telah memulai upaya pemodelan karakteristik hanyutnya flaperon itu selama perjalanannya hingga sampai Réunion—ia berharap bisa melacaknya mundur dan mempersempit skup geografis pencarian bawah laut. Kebutuhan Gibson mudah mereka sediakan: Gibson ingin tahu mana saja lokasi yang paling mungkin jadi tempat terdamparnya puing-puing. Jawabannya di barat laut pantai Madagaskar dan, kemungkinan juga, di pantai Mozambik.

Gibson memilih Mozambik karena ia belum pernah ke sana dan ia bisa mengantunginya sebagai negara ke-177. Ia memilih sebuah kota bernama Vilanculos karena tampak aman dan punya pantai-pantai indah. Ia tiba di sana pada Februari 2016. Seingatnya, ia bertanya kepada nelayan setempat, dan diberi tahu ada sebuah beting di atas karang bernama Paluma, tempat para nelayan biasa mengumpulkan pukat dan pelampung yang tersapu dari Samudra Hindia. Gibson mengupah seorang tukang perahu bernama Suleman untuk mengantarkannya. Mereka menemukan segala macam sampah, sebagian besar plastik. Suleman lalu memanggil Gibson. Memegang sebuah kepingan abu-abu segitiga sepanjang kira-kira dua kaki, ia bertanya, “Apakah ini 370?” Kepingan itu memiliki struktur seperti sarang lebah dan ada cetakan tulisan JANGAN MELANGKAH di salah satu permukaannya. Kesan pertama Gibson, barang itu bukan dari pesawat besar. Kepada saya ia berkata, “Pikiran saya bilang bukan dari pesawatnya, tapi hati saya bilang dari pesawatnya. Kemudian kami kembali ke perahu. Di situlah kami mendapat pengalaman pribadi. Dua lumba-lumba muncul dan membantu mengantar kami sampai ke beting–itu hewan kepercayaan ibu saya. Ketika saya menyaksikannya, saya berpikir, Barang ini dari pesawatnya.”

Terserah Anda mau bilang apa, tapi Gibson terbukti benar. Kepingan itu–dari stabilisator horizontal–dinyatakan hampir pasti berasal dari MH370. Gibson terbang ke Ibu Kota Maputo dan menyerahkannya langsung ke konsul Australia. Lalu ia terbang ke Kuala Lumpur, bertepatan dengan peringatan dua tahun. Kali ini ia disambut sebagai sahabat.

Pada Juni 2016, Gibson mengalihkan perhatiannya ke pantai-pantai terpencil di timur laut Madagaskar. Tempat ini menjadi tambangnya. Gibson berkata ia menemukan tiga bagian di hari pertama, dan dua lainnya beberapa hari kemudian. Minggu berikutnya, di sebuah pantai delapan mil dari tempat pertama, tiga bagian lagi diantarkan kepadanya. Hal seperti itu berlanjut terus. Tersebar kabar ia mau membeli puing-puing MH370. Ia berkata, ia memang pernah sekali membayar untuk satu bagian–40 dolar–yang dipakai seluruh desa untuk mengadakan pesta minum. Tampaknya alkohol di sana dijual murah.

Banyak puing yang tersapu ombak tak berhubungan dengan pesawat itu. Tapi dari lusinan bagian yang teridentifikasi hingga saat ini, baik yang sudah dipastikan atau diduga atau dicurigai berasal dari MH370, Gibson terkait dengan penemuan kira-kira sepertiganya. Beberapa bagian masih diinvestigasi. Pengaruh Gibson sangat besar sampai-sampai David Griffin, meskipun berterima kasih, khawatir pola penemuan puing kini secara statistik terpusat di Madagaskar, dan mungkin mengorbankan titik-titik lain yang jauh lebih di utara. Ia menamai kekhawatirannya sebagai: “Efek Gibson”.

Faktanya tetap bahwa, setelah lima tahun, belum ada seorang pun yang bisa merunut dari mana puing-puing ini disapu ke daratan dan melacaknya ke titik awal tertentu di selatan Samudra Hindia. Bersikeras untuk terbuka pada semua kemungkinan, Gibson masih memegang harapan untuk menemukan puing baru yang bisa menjelaskan hilangnya pesawat itu–kabel hangus yang mengindikasikan kebakaran, misalnya, atau pecahan proyektil bukti tembakan misil–meskipun apa yang telah diketahui dari jam-jam terakhir penerbangan itu secara garis besar menutup kemungkinan demikian. Apa yang ditemukan Gibson berupa banyak bagian puing itu menegaskan bahwa analisis sinyal satelit sudah tepat. Pesawat itu terbang selama enam jam sebelum penerbangannya tiba-tiba terhenti. Tak ada usaha apa pun dari orang yang di kendali kontrol untuk membuat pesawat mendarat dengan mulus. Pesawat itu hancur. Masih ada harapan, pikir Gibson, untuk menemukan sejenis pesan dalam botol–catatan putus asa yang ditulis seseorang di saat-saat terakhirnya dalam pesawat celaka itu. Di pantai-pantai, Gibson menemukan beberapa ransel dan banyak sekali dompet, yang semuanya kosong. Temuan yang paling mendekati catatan yang ia cari, katanya, adalah sebuah pesan tertulis dalam bahasa Melayu di sisi bawah sebuah topi baseball. Dalam terjemahan, bunyinya, “Untuk perhatian. Temanku yang baik, temui aku di guesthouse nanti.”

?. ????? ??????????

Tiga penyelidikan resmi diadakan pada awal hilangnya MH370. Yang pertama adalah yang paling besar, paling giat, dan paling mahal: usaha pencarian bawah air menggunakan teknologi canggih oleh Australia, yang ditujukan untuk menentukan lokasi puing utama agar bisa menemukan data penerbangan pesawat dan rekaman suara kokpit. Pencarian ini melibatkan penghitungan performansi pesawat, penguraian rekaman radar dan satelit, kajian arus samudra, sejumlah analisis statistik, dan pemeriksaan fisik pada temuan yang hanyut ke Afrika Timur–banyak di antaranya berasal dari Blaine Gibson. Semuanya membutuhkan operasi laut yang luar biasa di laut-laut terganas dunia. Membarengi upaya itu adalah sekelompok ahli mesin dan ilmuwan yang bertemu di internet, mereka menyebut diri Grup Independen, dan bekerja sama dengan sangat efektif sampai-sampai pemerintah Australia mempertimbangkan pekerjaan mereka dan akhirnya berterima kasih secara resmi atas masukan mereka. Sepanjang sejarah penyelidikan kecelakaan, hal demikian belum pernah terjadi. Walau begitu, setelah lebih dari tiga tahun dan kira-kira 160 juta dolar habis, investigasi Australia ditutup tanpa kesuksesan. Pencarian diambil alih pada 2018 oleh perusahaan Amerika bernama Ocean Infinity, di bawah kontrak “tak ada penemuan, tak ada bayaran” dengan pemerintah Malaysia. Pencarian ini menggunakan wahana penyisir bawah laut yang canggih dan mencakup sisi baru di busur ketujuh, sisi yang paling dijagokan Grup Independen akan membawa hasil. Setelah beberapa bulan, usaha ini juga berakhir dengan kegagalan.

Penyelidikan resmi kedua dilakukan polisi Malaysia, dan dimaksudkan untuk mengecek latar belakang semua orang yang naik pesawat itu, termasuk teman-teman mereka. Sulit mengetahui sebenarnya sampai mana temuan polisi karena laporan hasil investigasi ini tiba-tiba dirahasiakan. Laporan itu distempel rahasia dan dijaga bahkan dari sesama penyelidik Malaysia, tapi setelah dibocorkan oleh salah satu orang dalam, masalahnya jadi jelas. Secara khusus, yang disembunyikan adalah semua hal yang diketahui tentang si kapten, Zaharie. Tak seorang pun terkejut. Perdana menteri saat itu adalah seorang pria busuk bernama Najib Razak, yang sedang didakwa atas korupsi monumental. Pers Malaysia disensor. Pengacau diangkut dan dihilangkan. Para petugas punya alasan untuk berhati-hati. Mereka punya karier yang harus dijaga, dan mungkin juga nyawa mereka. Jelas bahwa mereka memutuskan tidak lanjut karena bisa membuka keburukan Malaysia Airlines dan pemerintah.

Penyelidikan resmi ketiga adalah adalah penelusuran kecelakaan, dimaksudkan bukan untuk mencari pihak bertanggung jawab tapi untuk menemukan kemungkinan penyebab, dan dilakukan berdasar standar internasional paling tinggi oleh tim dari berbagai negara. Penyelidikan ini dipimpin kelompok kerja ad hoc yang dibentuk pemerintah Malaysia, dan sudah kacau sejak awal. Polisi dan tentara meremehkannya. Kementerian melihatnya sebagai ancaman. Ahli asing yang dikirim untuk membantu, mulai mengundurkan diri nyaris begitu mereka sampai. Seorang ahli dari Amerika, merujuk protokol penerbangan internasional yang seharusnya memandu penelusuran ini, mengatakan kepada saya, “Annex 13 disusun untuk menginvestigasi kecelakaan di negara demokrasi mapan, tapi di negara seperti Malaysia, dengan birokrasi yang goyah dan autokratis, dan ketika maskapai penerbangan dimiliki pemerintah sekaligus dipandang sebagai gengsi satu negara, panduan seperti itu jadi tidak masuk.”

Seorang pengamat kasus MH370 mengatakan, “Jelas bahwa tujuan utama Malaysia agar masalah ini berlalu begitu saja. Dari awal sudah ada bias bawaan untuk tidak terbuka dan transparan, bukan karena mereka menyembunyikan rahasia gelap dan dalam, tapi karena mereka tidak tahu di mana kebenarannya berada, dan mereka khawatir apabila hal yang terungkap nanti bakal mempermalukan. Mereka menutupinya? Ya. Mereka menutupinya karena mereka tidak tahu apa-apa.”

Di akhir penyelidikan dibuat laporan 495 halaman yang cuma tiruan jelek Annex 13. Laporan itu dijejali pengulangan deskripsi sistem Boeing 777 yang sudah jelas diambil dari manual Boeing dan tak punya nilai teknis. Demikianlah, tak ada nilai teknis sama sekali dalam laporan itu, karena publikasi dari Australia telah mencantumkan semuanya tentang informasi satelit yang relevan dan analisis arus samudra. Laporan Malaysia sulit tidak dipandang sebagai upaya cuci tangan belaka, yang kontribusi nyatanya hanyalah deskripsi jujur tentang kegagalan ATC–diduga ini dimasukkan karena setengah kegagalan bisa disalahkan kepada Vietnam, dan karena para kontroler Malaysia adalah sasaran yang lemah secara politis. Laporan ini diterbitkan pada Juli 2018, lebih dari empat tahun setelah kejadian. Disebutkan bahwa tim penyelidik tidak dapat memastikan penyebab hilangnya pesawat.

Kesimpulan seperti itu mengundang spekulasi lanjutan, termasuk yang tidak beralasan. Data satelit menyediakan bukti terkuat tentang jalur penerbangan pesawat itu, dan sulit untuk mendebatnya, tapi orang harus percaya angka dulu baru bisa menerimanya. Segala macam pembuat teori membikin cerita, dilantangkan oleh media sosial, yang mengabaikan data satelit, dan di sejumlah kasus juga data jejak radar, sistem penerbangan, rekaman ATC, hukum fisika, dan kenampakan dasar geografi planet. Sebagai contoh, seorang perempuan Inggris yang membuat blog dengan nama Saucy Sailoress dan membuka jasa tarot bertualang di sekitar selatan Asia bersama suami dan anjing-anjingnya menggunakan perahu laut. Ia mengatakan bahwa pada malam hilangnya MH370, mereka berada di Laut Andaman, dan ia melihat sesuatu seperti misil penjelajah menuju ke arahnya. Misil itu lalu berubah menjadi pesawat yang terbang rendah dengan kokpit cukup terang, diselimuti cahaya jingga misterius dan jejak asap. Begitu pesawat itu berlalu ia menyimpulkannya sebagai misi bunuh diri yang mau menyerang armada laut Tiongkok di lautan jauh. Ia belum tahu tentang hilangnya HM370, tapi ketika, beberapa hari kemudian, ia mengerti kasus ini, ia menggambarkan kejadian yang ia alami berhubungan langsung. Tak masuk akal, mungkin, tapi ia mendapatkan pemirsa.

Seorang Australia selama bertahun-tahun mengaku telah menemukan MH370 lewat Google Earth, berada di perairan dangkal dan masih utuh; ia menolak mengungkap lokasinya karena sedang mengumpulkan dana patungan untuk ekspedisi. Di internet Anda akan menemukan cerita bahwa pesawat itu sudah ditemukan utuh di hutan Kamboja, mendarat di sungai Indonesia, terbang masuk ke lorong waktu, diisap Lubang Hitam. Satu skenario menyebut pesawat itu menyerang pangkalan militer Amerika di Diego Garcia sehingga ditembak jatuh. Kabar terbaru di internet yang melaporkan bahwa Kapten Zaharie ditemukan masih hidup dan dirawat di rumah sakit Taiwan dalam kondisi amnesia meraih perhatian mulyana sehingga Malaysia harus membantahnya dengan marah. Berita itu berasal dari website satire ugal-ugalan yang juga pernah memberitakan serangan seksual kepada seorang pendaki Amerika dan dua Sherpanya oleh makhluk mirip yeti di Nepal.

Penulis asal New York bernama Jeff Wise berhipotesis bahwa salah satu sistem elektronik dalam pesawat itu telah diprogram ulang agar menunjukkan data palsu–sehingga menunjukkan belokan ke selatan menuju Samudra Hindia ketika sebenarnya pesawat membelok ke utara menuju Kazakhstan–dengan tujuan menyesatkan penyelidik. Ia menyebutnya skenario “tipuan”, dan menjelaskannya panjang lebar, yang terbaru dalam ebook yang terbit pada 2019. Ia mengajukan gagasan bahwa Rusia telah mencuri pesawat itu untuk mengalihkan orang dari persoalan pendudukan Krimea, yang saat itu sedang terjadi. Titik lemah yang jelas sekali dalam pendapat itu adalah penjelasan bagaimana bisa, jika sebuah pesawat terbang ke Kazakhstan, semua rongsokannya berakhir di Samudra Hindia. Jawaban Wise, bukti itu semuanya bikinan.

Blaine Gibson baru membuat akun media sosial ketika memulai pencarian, dan ia terkejut. Seingatnya, para pengejek bermunculan begitu ia menemukan bagian pertama–bagian bertuliskan JANGAN MELANGKAH–dan mereka kemudian berlipat ganda, khususnya ketika pantai-pantai di Madagaskar mulai memberi hasil. Internet memancing emosi bahkan untuk peristiwa yang biasa-biasa saja. Sebuah bencana telah berubah menjadi racun bagi Gibson. Ia dituduh memanfaatkan keluarga korban, penipu, pencari ketenaran, pencandu narkoba, agen Rusia, agen Amerika, dan yang paling mendingan, pembohong. Ia mulai menerima ancaman kematian–lewat pesan di media sosial dan telepon ke temannya berisi perkiraan kematiannya. Satu pesan mengatakan ia lebih baik berhenti mencari puing atau bakal meninggalkan Madagaskar dalam peti mati. Lainnya memperingatkan ia akan mati keracunan polonium. Masih ada banyak lagi. Ia tak siap menerima semua ini, dan tak mampu mencuekinya. Selama hari-hari kami bersama di Kuala Lumpur, ia terus memantau serangan-serangan terbaru sambil didampingi seorang temannya di London. Ia mengatakan, “Saya sekali membuat kesalahan dengan bikin Twitter. Intinya, orang-orang ini teroris siber. Dan terornya berhasil. Terornya berdampak.” Ia dibikin trauma.

Pada 2017, Gibson merancang mekanisme resmi untuk mengirimkan puing-puing itu: ia akan menyerahkan temuan baru apa saja ke pihak berwenang di Madagaskar, yang akan mengalihtangankan ke konsul kehormatan Malaysia, yang akan mengemasnya dan mengirimkan ke Kuala Lumpur untuk diperiksa dan disimpan. Pada 24 Agustus tahun itu, konsul kehormatan Malaysia ditembak mati di dalam mobilnya oleh seorang pembunuh yang kabur dengan sepeda motor dan tak pernah ditemukan. Media berbahasa Prancis menuduh konsul itu punya masa lalu kelam; alias pembunuhannya tidak mungkin berhubungan dengan MH370 sama sekali. Gibson, bagaimanapun, menduga memang ada hubungannya. Penyelidikan polisi masih berlangsung.

Kini ia kerap menolak menyebutkan lokasi ia berada maupun rencana perjalanannya, dan untuk alasan yang sama ia menolak memakai email dan jarang bicara lewat telepon. Ia lebih menyukai Skype dan WhatsApp karena ada fitur enkripsi. Ia rutin mengganti kartu SIM. Ia percaya kadang dibuntuti dan difoto. Tak ada yang mendebat bahwa Gibson satu-satunya orang yang pergi sendiri mencari bagian-bagian MH370 dan menemukan puing. Tapi gagasan bahwa puing itu bisa membuat orang dibunuh sulit untuk diseriusi. Hal seperti itu lebih mudah dipercaya jika puingnya menyimpan petunjuk rahasia gelap dan intrik internasional. Tapi bukti yang ada–sebagian besar kini sudah dibuka ke publik–menunjuk ke arah berbeda.

?. ???? ??????? ???????

Sebenarnya, banyak hal yang kini bisa diketahui dengan pasti tentang nasib MH370. Pertama, menghilangnya pesawat itu adalah tindakan disengaja. Sulit diterima bahwa jalur penerbangan yang sudah terungkap itu, ditambah tak adanya kontak radio dan sinyal lain, dianggap disebabkan berbagai gabungan kegagalan sistem dan kelalaian manusia. Glitch di komputer, rusaknya sistem kontrol, garis badai, es, sambaran petir, tabrakan dengan burung, meteorit, debu vulkanik, kegagalan mesin, kegagalan sensor, kegagalan instrumen, kegagalan radio, kegagalan kelistrikan, api, asap, ledakan dalam kabin karena penurunan tekanan udara, pilot yang linglung, darurat medis, bom, perang, atau takdir Tuhan–tak satu pun bisa menjelaskan jalur penerbangan itu.

Kedua, berkebalikan dari teori yang ada, kendali kontrol pesawat tidak diambil alih dari jauh lewat bilik peralatan kelistrikan (electrical-equipment bay, EE bay), sebuah ruangan di bawah dapur depan pesawat. Berhalaman-halaman akan habis untuk menjelaskannya. Kontrol pesawat itu diambil alih dari dalam kokpit. Ini terjadi dalam periode 20 menit dari jam 01.01, ketika pesawat di ketinggian 35.000 kaki, sampai 01.21, ketika ia menghilang dari radar. Sepanjang periode yang sama, sistem otomatis pelaporan kondisi pesawat mentransmisikan pembaruan rutin per 30 menit lewat satelit kepada departemen pemeliharaan maskapai. Laporan ini menyampaikan tingkat bahan bakar, ketinggian, kecepatan, dan posisi geografis, serta tidak menunjukkan ada anomali. Transmisi ini berarti sistem komunikasi satelit pesawat berfungsi pada saat itu.

Pada saat pesawat keluar dari pandangan radar kedua–mengandalkan transponder, kemungkinan salah satu dari pilot telah dilumpuhkan atau meninggal, atau dikunci di luar kokpit, mengingat mustahil mereka masih bekerja berdua. Rekaman radar pertama–baik milik militer maupun sipil–kemudian mengindikasikan siapa pun yang saat itu menerbangkan MH370 telah mematikan autopilot, sebab belokan pesawat yang mengarahkannya ke barat daya sangat tajam sehingga mestinya pesawat itu dikendalikan dengan tangan. Situasi mengesankan bahwa siapa pun yang berada di kontrol telah sengaja menurunkan tekanan udara dalam pesawat. Kira-kira di waktu yang sama, sebagian besar atau malah semua sistem kelistrikan juga sengaja dipadamkan. Alasan pemadaman ini tak diketahui. Tapi salah satu efeknya komunikasi dengan satelit terputus sementara.

Seorang insinyur elektro di Boulder, Colorado, bernama Mike Exner, yang adalah anggota terkemuka di Grup Independen, mempelajari data radar tersebut secara saksama. Ia yakin selama belokan itu, pesawat naik sampai ke 40.000 kaki, yang mendekati batas ketinggiannya. Sepanjang manuver itu para penumpang akan mengalami semacam gaya gravitasi–yang rasanya seperti tiba-tiba didorong ke kursi. Exner yakin alasan naiknya ketinggian itu untuk meningkatkan efek depresurisasi (penurunan tekanan udara dalam pesawat), menyebabkan kelumpuhan seketika dan kematian pada semua orang di kabin.

Depresurisasi yang disengaja adalah cara yang sangat jelas–dan bisa jadi satu-satunya cara–untuk menghilangkan potensi kekacauan di kabin ketika pesawat terus terbang berjam-berjam nantinya. Di dalam kabin, efek ini akan terjadi tanpa disadari kecuali dari masker oksigen yang tiba-tiba turun dan mungkin dari kru-kru kabin yang memakai alat ini dalam bentuk portabel. Tak satu pun masker kabin ditujukan untuk lebih dari 15 menit pemakaian sepanjang penurunan ketinggian di bawah 13.000 kaki; alat ini juga tak berguna ketika mengudara di 40.000 kaki. Semua penghuni kabin akan langsung lumpuh dalam beberapa menit, hilang kesadaran, dan pelan-pelan mati tanpa tersedak atau terengah-engah mencari udara. Pemandangan ini diterangi samar-samar oleh lampu darurat, menampakkan orang-orang mati yang masih memakai sabuk pengaman, wajah mereka terpasang masker oksigen mubazir yang menjuntai dari langit-langit.

Kokpit, sebaliknya, dilengkapi dengan empat masker oksigen bertekanan yang terhubung dengan cadangan untuk berjam-jam. Siapa pun yang menurunkan tekanan pesawat tinggal menyambar salah satu saja. Pesawat itu bergerak cepat. Di radar utama ia muncul dalam bentuk kelip tak dikenal sedang mendekat ke Pulau Pinang dengan laju hampir 600 mil per jam. Pulau utama di dekatnya adalah markas Pangkalan Udara Butterworth, tempat interseptor milik skuadron F-18 Malaysia diparkir, beserta sebuah radar pertahanan udara–tapi tak seorang pun menaruh perhatian. Menurut seorang mantan petugas, sebelum laporan kecelakaan diterbitkan pada musim panas kemarin, petugas angkatan udara Malaysia meminta untuk memeriksa dan menyuntingnya. Pada bagian yang dijuduli “Radar Militer Malaysia”, laporan itu mencantumkan lini masa yang menyebut radar pertahanan udara aktif memonitor pergerakan itu, militer tahu betul identitas pesawatnya, dan mereka sengaja “tidak mengejar untuk mengintersep pesawat tersebut karena ‘bersahabat’ dan tidak menunjukkan ancaman apa pun kepada keamanan, integritas, dan kedaulatan udara negara.” Pertanyaannya tentu saja mengapa, jika militer tahu pesawat itu balik arah dan terbang ke barat, mereka membiarkan pencarian awal berlangsung berhari-hari di bagian perairan yang salah, di sisi timur.

Dengan semua peralatan mahal itu, angkatan udara telah gagal melaksanakan tugasnya dan malah tidak mengakui faktanya. Dalam sebuah wawancara dengan televisi Australia, mantan menteri pertahanan Malaysia mengatakan, “Jika tidak bermaksud menembak jatuh, buat apa (interseptor) dikirim?” Baiklah, satu, Anda bisa mengidentifikasi langsung pesawat itu, yang mana saat itu hanya berupa satu kelip di radar utama. Anda juga bisa memperhatikan kokpit lewat jendela dan melihat siapa yang berada di kontrol.

Pada 01.37, sistem laporan kondisi otomatis MH370 gagal bertransmisi. Kita sekarang tahu sistem itu telah ditutup dari transmisi satelit mana pun–sesuatu yang mudah dilakukan dari dalam kokpit–dan akibatnya tak bisa mengirim laporan sama sekali.

Pada 01.52, setengah jam setelah berubah arah, MH370 yang baru saja melewati selatan Pulau Pinang, membuat belokan lebar ke kanan, dan mengarah barat daya di atas Selat Malaka. Ketika pesawat membelok, telepon seluler kopilot terhubung dengan menara di bawahnya. Ini satu kali kontak yang singkat tanpa informasi apa pun terkirim. Sebelas menit kemudian, dengan asumsi MH370 masih di atas Laut China Selatan, salah seorang operator Malaysia Airlines mengirim pesan teks memerintahkan para pilot menghubungi pusat ATC Ho Chi Minh. Pesan itu tak dijawab. Selama melewati Selat Malaka, pesawat terus dikemudikan tangan. Diduga bahwa semua orang di kabin telah meninggal pada saat itu. Pada 02.22, radar angkatan udara Malaysia menangkap kelip terakhir. Pesawat itu telah 230 mil di barat daya Pinang, mengarah ke Laut Andaman dan terbang cepat.

Tiga menit kemudian, pada 02.25, kotak satelit pesawat tiba-tiba kembali hidup. Sepertinya ini terjadi ketika sistem kelistrikan sepenuhnya telah dinyalakan, dan pesawat dikembalikan ke tekanannya semula pada saat yang sama. Ketika kotak satelit menyala, ia mengirim permintaan log ke Inmarsat; stasiun Bumi merespons, dan kontak pertama berhasil. Tanpa diketahui siapa pun di kokpit, jarak dan nilai Dopplernya juga direkam stasiun Bumi, yang kemudian memungkinkan busur pertama terbentuk. Kotak satelit menerima kontak itu, tapi panggilannya tak dijawab. Salah satu nilai Doppler yang tercatat menunjukkan pesawat telah membuat belokan lebar ke selatan. Oleh para penyelidik, tempat peristiwa ini terjadi disebut sebagai “belokan besar terakhir”. Lokasi ini krusial bagi keseluruhan usaha pencarian selanjutnya, namun tidak pernah benar-benar ditandai. Radar angkatan udara Indonesia harusnya menunjukkannya, tapi radar tersebut tampaknya dimatikan malam itu.

MH370 kini kemungkinan terbang secara autopilot, mengudara ke selatan menembus malam. Siapa pun yang mengambil alih kokpit masih aktif dan hidup. Apakah ini pembajakan? Pembajakan adalah solusi “pihak ketiga” yang cenderung dipilih dalam laporan resmi. Ini adalah penjelasan yang paling tidak menyakitkan bagi siapa pun yang bertanggung jawab malam itu. Walaupun begitu, ada masalah besar. Masalah pertama adalah pintu kokpit sudah diperkuat, digerendel secara elektrik, dan diawasi oleh video yang bisa dilihat pilot. Juga, durasinya tak sampai dua menit antara salam “selamat malam” dari Zaharie kepada kontroler Kuala Lumpur dan dimulainya perubahan arah, disertai dengan hilangnya sinyal transponder. Bagaimana pembajak tahu cara melakukan tindakan presisi selama pengalihtanganan ke ATC Vietnam itu, dan kemudian mendapat akses begitu cepat dan mulus sampai tak satu pun pilot sempat mengirimkan panggilan bahaya? Tentu mungkin-mungkin saja para pembajak adalah orang yang dikenal pilot–sehingga mereka diundang masuk kokpit–tapi bahkan hal itu tidak menjelaskan ketiadaan kontak radio, khususnya selama kemudi tangan mengubah arah yang seharusnya menuju Beijing. Kedua kemudi pesawat (yoke) dipasangi sakelar transmitter, bisa dijangkau dengan jari, dan sejumlah sinyal bisa dikirim cepat-cepat sebelum percobaan ambil alih. Lagi pula, setiap penumpang dan kru kabin telah diinvestigasi dan tak lagi dicurigai oleh tim penyelidik Malaysia dan Tiongkok, dibantu FBI. Kualitas kerja polisi itu terbuka untuk dipertanyakan, tapi mereka sudah cukup teliti dengan berhasil mengungkap dua warga Iran yang terbang menggunakan nama palsu dari paspor curian–kejahatan mereka tak lebih dari mencari perlindungan politik ke Jerman. Bisa jadi ada penumpang gelap–dalam arti tak tercatat dalam manifes pesawat–telah bersembunyi di bilik perlengkapan. Jika demikian, mereka harus mengakses dua pemutus daya yang, jika ditarik, akan mematikan gerendel di pintu kokpit. Tapi skenario itu bermasalah juga. Gerendel itu akan berbunyi keras ketika mereka buka–suara cukup jelas yang bisa jadi dikenal betul oleh pilot. Pembajak masih harus membuka tingkap lantai dapur dari bawah, menaiki tangga pendek, menghindari kru kabin, menghindari video pengawas, dan masuk kokpit sebelum salah satu pilot mengirim panggilan bahaya. Hampir tak mungkin hal ini bisa terjadi, sebagaimana hampir tak mungkin pramugari yang dijadikan sandera membukakan pintu kokpit agar mereka bisa masuk tiba-tiba, tanpa ia sempat menyalakan peringatan. Lagi pula, apa gunanya pembajakan ini? Uang? Politik? Ketenaran? Ajakan berperang? Serangan teroris? Gambaran tujuh jam perubahan jalur MH370 yang rumit tak cocok dengan satu pun skenario di atas. Dan tak ada yang mengaku bertanggung jawab atas kejadian ini. Anonimitas tidak cocok dengan motif-motif tersebut.

?. ???? ??????

Yang tersisa untuk kita adalah jenis peristiwa yang berbeda, pembajakan dari dalam yang tidak membutuhkan cara masuk paksa–dilakukan seorang pilot yang melakukan kekacauan. Orang yang rasional akan menolak gagasan bahwa seorang pilot mau membunuh ratusan penumpang tak berdosa sebagai ongkos tambahan usaha bunuh dirinya. Jawabannya jelas, hal semacam itu sudah pernah terjadi. Pada 1997, seorang kapten yang bekerja di maskapai Singapura bernama SilkAir diyakini telah mematikan kotak hitam sebuah Boeing 737 dan menerjunkan pesawat itu dengan kecepatan supersonik ke sungai. Pada 1999, EgyptAir Penerbangan 990 sengaja dihantamkan ke laut oleh kopilotnya sendiri di pantai Long Island, berakhir dengan tewasnya semua orang di dalam. Pada 2013, hanya beberapa bulan sebelum MH370 hilang, kapten LAM Mozambique Airlines Penerbangan 470, menjatuhkan pesawat twin jet Embraer E190 dari ketinggian mengudaranya langsung ke darat, membunuh kesemua 27 penumpang dan enam kru. Kasus yang paling baru adalah pesawat Airbus Germanwings yang sengaja ditabrakkan ke pegunungan Alpen di Prancis pada 24 Maret 2015, juga menewaskan semua orang di pesawat. Kopilotnya, Andreas Lubitz, sudah menunggu pilot pergi ke kamar mandi dan kemudian menguncinya. Lubitz punya rekam jejak depresi dan—seperti diungkap investigasi kemudian—telah mempelajari hilangnya MH370, satu tahun sebelumnya.

Dalam kasus MH370, sulit melihat si kopilot sebagai pelakunya. Ia masih muda dan optimistis, dan dikabarkan sedang berencana menikah. Ia tak punya sejarah pernah bermasalah, berbeda pendapat, atau ragu-ragu. Ia bukan orang Jerman yang memulai hidup di dalam industri maskapai murah yang semakin sepi, bergaji rendah, dan gengsinya telah menurun. Ia menerbangkan Boeing 777 yang megah di sebuah negara tempat maskapai nasional dan pilot-pilotnya masih dianggap sesuatu yang wah.

Adalah si kapten, Zaharie, yang mengundang kekhawatiran. Peringatan pertama adalah gambaran dirinya di laporan resmi sebagai seseorang tanpa cela–seorang pilot baik dan pria kebapakan yang tenang, yang gemar memainkan simulator terbang. Citra ini diangkat oleh keluarga Zaharie, namun bertolak belakang dengan banyaknya petunjuk masalah yang dengan sangat jelas berusaha dibersihkan.

Polisi menemukan aspek-aspek kehidupan Zaharie yang seharusnya digali lebih dalam. Kesimpulan resmi yang mereka tarik tidak kuat. Keterangan resmi, menyebut Zaharie sebagai PIC, atau pilot yang bertugas, mengatakan begini:

Kemampuan PIC untuk mengatasi stres di tempat kerja dilaporkan bagus. Tidak diketahui ada sejarah kelesuan, kecemasan, atau mudah marah. Tidak ada perubahan besar dalam gaya hidupnya, konflik dengan orang lain, atau stres dalam keluarga … Tidak ada tanda perilaku menyendiri, perubahan kebiasaan atau ketertarikan … Dalam kajian pola perilaku PIC lewat CCTV (di bandara) pada hari penerbangan itu dan tiga penerbangan sebelumnya, tidak ada tanda perubahan besar pada perilaku yang diamati. Di semua rekaman CCTV, penampilannya selalu sama, misalnya bersih dan rapi. Cara berjalan, postur, ekspresi wajah, dan sikapnya normal seperti biasa.

Deskripsi ini menyimpang dan jauh dari yang biasa dikenali tentang Zaharie. Yang sebenarnya, sebagaimana saya temukan setelah bicara di Kuala Lumpur dengan orang yang mengenal atau tahu tentangnya, Zaharie kerap kesepian dan sedih. Istrinya sudah pindah rumah, dan tinggal di rumah mereka yang satunya. Menurut pengakuannya sendiri kepada teman-teman, ia banyak menghabiskan waktu mondar-mandir di rumahnya yang kosong menunggu hari-hari libur terbang berlalu. Ia juga seorang pencinta. Ia diketahui telah menjalin hubungan yang menyedihkan dengan seorang perempuan bersuami beserta tiga anaknya, salah satunya difabel, dan tergila-gila kepada dua model muda di internet, yang ia kenal di media sosial, dan pernah ia komentari namun tampaknya tidak dibalas. Beberapa komentar itu mesum tapi malu-malu. Ia me-mention di salah satu komentar, contohnya, bahwa salah seorang gadis itu, yang memakai daster di foto postingannya, kelihatan seperti orang baru selesai mandi. Zaharie tampaknya telah menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya, yang punya kehidupan mapan. Ia masih berhubungan dengan anak-anaknya, tetapi mereka sudah dewasa dan tidak lagi di rumah. Ditinggalkan dan sendirian, yang coba diobati dengan bermain media sosial–dan Zaharie sering bermain media sosial–mungkin tidak menolong. Ada kecurigaan kuat di antara penyelidik penerbangan dan kelompok intelijen bahwa ia depresi secara klinis.

Jika Malaysia adalah negara di mana, dalam lingkaran pemerintahannya, kebenaran diterima, maka gambaran polisi mengenai Zaharie yang sehat dan bahagia mungkin ada benarnya. Tapi Malaysia bukan negara seperti itu, dan kelalaian petugas menyimpulkan bukti sehingga jadi sebaliknya hanya menambah bukti baru bahwa Zaharie memang bermasalah.

Pemeriksaan forensik FBI pada simulator milik Zaharie mengungkap bahwa ia bereksperimen pada profil penerbangan yang kurang lebih cocok dengan MH370–terbang di sekitar utara Indonesia dilanjutkan perjalanan panjang ke selatan, berakhir dengan kehabisan bahan bakar di atas Samudra Hindia. Penyelidik Malaysia mengabaikan profil penerbangan ini karena hanya salah satu dari sekian ratus yang terekam di simulator. Itu benar, sejauh penyelidikan ini, yang mana tak jauh-jauh amat. Victor Iannello, seorang ahli mesin dan pengusaha di Roanoke, Virginia, yang juga salah satu anggota terkemuka di Grup Independen serta telah menganalisis penerbangan simulasi secara menyeluruh, menggarisbawahi apa yang penyelidik Malaysia lalaikan. Dari semua profil yang diekstrak dari simulator itu, profil yang cocok dengan jalur MH370 ini adalah satu-satunya yang Zaharie lakukan bukan sebagai penerbangan berseri–dengan kata lain, lepas landas lewat simulator dan membiarkannya berjalan sendiri, jam demi jam, sampai tiba di bandara tujuan. Justru ia mengasah diri secara manual di penerbangan satu itu hingga sampai di berbagai tingkat, berulang-ulang melajukan pesawat dan terus menguras habis bahan bakarnya. Iannelo yakin Zaharie bertanggung jawab atas berbeloknya MH370. Mengingat tak ada hal teknis yang bisa dipelajari dari produk seperti game Microsoft ini, Iannello mencurigai fungsi simulator terbang ini mungkin untuk memberi kode selamat tinggal. Merujuk pada profil penerbangan yang ditiru MH370, Iannello menyebut Zaharie, “Seolah ia memperagakan sebuah simulasi.” Tanpa catatan penjelasan, alasan Zaharie mustahil diketahui. Tapi simulator penerbangan itu tak mudah diabaikan sebagai kebetulan acak.

Di Kuala Lumpur, saya bertemu salah seorang teman lama Zaharie, sesama kapten Boeing 777 yang namanya saya sembunyikan untuk melindunginya. Ia juga yakin Zaharie bersalah, kesimpulan yang terpaksa ia ambil. Ia menggambarkan misteri penerbangan ini seperti sebuah piramida yang besar di bagian dasarnya dan seorang pria di puncaknya, yang artinya penelusuran ini dimulai dengan banyak kemungkinan penjelasan tapi berakhir dengan satu saja. Ia berkata, “Tidak masuk akal. Rasanya sulit menghubungkannya dengan orang yang saya kenal. Tapi itulah kesimpulan yang diperlukan.” Saya bertanya tentang apa yang mungkin telah dilakukan kepada rekan sekokpitnya, Kopilot Fariq Hamid. Ia membalas, “Mudah saja. Zaharie adalah pengujinya. Ia tinggal bilang, ‘Coba periksa sesuatu di kabin,’ dan orangnya pasti pergi.” Saya bertanya motifnya. Ia tak punya dugaan. Ia berkata, “Rumah tangga Zaharie berantakan. Dulu ia meniduri beberapa pramugari. Terus kenapa? Kami semua begitu. Kami terbang ke seluruh dunia bersama gadis-gadis cantik itu di belakang. Tapi istrinya tahu,” Ia setuju masalah itu susah dijadikan alasan amukan Zaharie, tapi kondisi emosionalnya mungkin jadi salah satu faktor.

Apakah absennya semua keterangan ini dari laporan resmi–penderitaan Zaharie; keanehan satu profil penerbangan di simulatornya–belum lagi kekurangan teknis di laporan tersebut, merupakan cara menutup-nutupi? Di titik ini, kita tidak bisa bilang begitu. Kita tahu ada beberapa hal yang investigator tahu tapi tidak diungkap. Lebih mungkin bahwa mereka telah mengetahuinya, tapi tidak dibuka.

Ini membawa kita kembali pada saat terakhir MH370. Mudah membayangkan Zaharie sedang menuju akhir, dibelit sabuk pengaman pada kursi supernyaman dalam kokpit, berdiam di kepompongnya diterangi cahaya dari instrumen-instrumen yang familier, dan merasa tak perlu buru-buru. Waktu itu sudah lama sejak ia mengembalikan tekanan dalam pesawat dan menghangatkan suhunya ke temperatur yang tepat. Ada dengung dari mesin yang menyala, abstraksi yang indah di layar-layar datar itu, lampu latar dari semua sakelar dan pemutus daya yang ditata penuh pertimbangan. Ada suara wusssh lembut dari udara yang dilalui. Kokpit itu menjadi semacam rumah yang paling tertutup, aman, dan pribadi. Sekitar pukul 07.00, matahari terbit dari horizon timur, di kiri pesawat. Beberapa menit kemudian cahayanya menerangi samudra jauh di bawah. Apakah Zaharie tewas dalam penerbangan? Ia bisa saja di titik tertentu mendepresurisasi pesawat lagi dan mengakhiri hidupnya. Hal ini bisa diperdebatkan dan tak dapat dipastikan. Namun, ada sejumlah kecurigaan, dari simulasi habisnya bahan bakar yang dilakukan investigator, bahwa pesawat itu, jika dibiarkan terbang sendiri, tidak akan terjun sedemikian hebatnya sebagaimana ditunjukkan data satelit telah terjadi–sebuah kecurigaan, dengan kata lain, bahwa seseorang berada di kontrol hingga akhir, secara aktif membantu menghantamkan pesawat. Bagaimanapun, di suatu tempat sepanjang busur ketujuh, setelah mesin-mesin berhenti bekerja karena bahan bakar habis, pesawat itu bergulung-gulung terjun dengan dahsyat pada kecepatan turun akhirnya mencapai lebih dari 15.000 kaki per menit. Kita tahu dari angka itu, juga dari puing-puing hancur Blaine Gibson, bahwa pesawat itu remuk seperti konfeti begitu menghantam air.

?. ????????????

Saat investigasi resmi telah berakhir. Australia sudah melakukan yang mereka bisa. Tiongkok ingin beranjak dan mulai menyensor berita apa pun yang bisa memantik semangat keluarga korban. Orang-orang Prancis telah pulang, menekuni kembali data satelit. Malaysia hanya ingin semua topik ini berlalu. Saya menghadiri acara di Kota Putrajaya musim gugur kemarin, ketika Grace Nathan dan Gibson berdiri di depan kamera bersama menteri perhubungan, Anthony Loke. Menteri itu menerima secara resmi lima bagian baru dari puing yang terkumpul sepanjang musim panas. Ia tampak tak senang sampai-sampai terlihat marah. Ia bicara singkat, dan tidak menerima pertanyaan dari wartawan. Nathan jadi panas karena kelakuan menteri itu. Malamnya, setelah makan malam, ia bersikeras bahwa pemerintah tak boleh pergi begitu saja. Ia berkata, “Mereka tidak mengikuti protokol. Mereka tidak mengikuti prosedur. Saya anggap ini menjijikkan. Banyak hal harusnya dilakukan. Akibat lambannya angkatan udara–dari semua pihak terkait yang pada sejam pertama tidak mengikuti protokol–kita mentok seperti sekarang. Mereka semua melanggar protokol satu kali, berkali-kali. Semua orang yang punya tanggung jawab saat itu tidak melakukan yang seharusnya mereka lakukan. Untuk mengubah tingkat keparahan. Mungkin kalau dilihat satu-satu tak akan seburuk ini, tapi ketika dilihat sebagai kesatuan, mereka semua berperan 100 persen atas fakta pesawat itu tidak ditemukan.”

Dan semua orang itu adalah pegawai pemerintah. Nathan punya harapan Ocean Infinity, yang baru saja menemukan kapal selam Argentina yang hilang, mau kembali mencari, masih dengan kontrak tak ada penemuan, tak ada bayaran. Perusahaan itu menunjukkan kemungkinan kembali awal minggu itu. Tapi pemerintah Malaysia yang harus menandatangani kontrak. Mengingat budaya politik, Nathan khawatir itu tak akan terjadi–dan sejauh ini terbukti benar.

Jika bangkai pesawat akhirnya ditemukan, hasilnya akan menyangkal semua teori yang mengabaikan fakta bahwa pesawat itu masih terbang dengan jalur yang rumit setelah belokan pertama menjauhi Beijing dan kemudian mengudara selama enam jam lebih. Tidak, pesawat itu tidak terbakar karena posisinya selalu di udara. Tidak, pesawat itu tidak menjadi “penerbangan hantu” karena masih bisa dikendalikan dan dimatikan sistemnya dan lalu dinyalakan lagi. Tidak, pesawat itu tidak ditembak jatuh setelah lama dipantau oleh kekuatan negara lain yang mengekor terus sebelum memutuskan menarik pelatuk. Dan tidak, pesawat itu tidak berada di suatu tempat di Laut China Selatan, juga tidak terparkir utuh di sebuah hanggar tersembunyi di Asia Tengah. Satu kesamaan dari semua penjelasan itu ialah semuanya bertentangan dengan informasi autentik yang dimiliki investigator.

Di luar itu, menemukan bangkai pesawat dan kedua kotak hitamnya hanya melengkapi sedikit jawaban misteri ini. Perekam suara kokpit akan terhapus sendiri tiap dua jam, dan kemungkinan hanya berisi suara alarm terakhir sebelum padam, kecuali siapa pun yang berada di kontrol masih hidup dan berminat merekam penjelasan untuk anak cucunya. Kotak hitam satunya, yang merekam data penerbangan, akan menyediakan informasi tentang kinerja pesawat sepanjang keseluruhan penerbangan, tapi hal itu tak bisa mengungkap kegagalan sistem apa saja yang relevan dengan kecelakaan ini, karena tidak ada jenis kegagalan yang bisa menjelaskan apa yang terjadi. Paling bagus ia cuma menjawab pertanyaan-pertanyaan yang relatif tak penting, seperti kapan pastinya pesawat didepresurisasi dan selama apa, atau bagaimana pastinya kotak satelit dimatikan dan kemudian dinyalakan kembali. Warga internet mungkin ingin sekali tahu, tapi bukan hal itu yang diharapkan.

Jawaban pentingnya mungkin bukan di samudra tapi di darat, di Malaysia. Adalah fokusnya yang harus dialihkan. Kecuali mereka memang sama tak bisa diandalkannya seperti angkatan udara dan ATC, polisi Malaysia tahu lebih dari yang mereka berani sampaikan. Teka-tekinya mungkin tak sulit. Itulah kefrustrasian di sini. Jawabannya mungkin sudah dalam jangkauan, namun mendapatkannya lebih sulit daripada mencari kotak hitam mana pun. Jika Blaine Gibson ingin petualangan nyata, ia boleh menghabiskan setahun menggali-gali di sekitar Kuala Lumpur.

??????? ???????????? adalah mantan koresponden nasional untuk The Atlantic dan seorang pilot profesional. Ia menulis topik-topik tentang penerbangan, keamanan dalam negeri AS, dan Afrika Utara.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini