Oleh: S Stanley Sumampouw

 

Pada 17 Agustus 2025, Indonesia akan memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, perayaan ini berlangsung di tengah bayang-bayang Intoleransi yang masih menghantui negeri ini dan semakin sering terjadi. Intoleransi yang terjadi khususnya terhadap kelompok agama minoritas, terkhusus pemeluk agama Kristen.

Dalam bulan Juli 2025 ini saja tercatat 5 kejadian Intoleransi dan persekusi terhadap pemeluk agama Kristen.

Di Jawa Barat ada kasus Cidahu, Sukabumi, dimana masyarakat sekitar menyerang rumah retret. Dari video terlihat lambang suci umat Kristen, salib, diturunkan dan dihempaskan ke lantai.
Kurang dari dua minggu setelah kasus Cidahu-Sukabumi, terjadi penolakan pembangunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Runggun Studio Alam di Kalibaru, Cilodong, Depok.
Kedua kasus tersebut terjadi di Jawa Barat, sebuah propinsi yang dari tahun ke tahun memang tidak pernah absen memproduksi kasus kasus Intoleransi dan kekerasan berbasis SARA.

Di Kediri, Jawa Tengah, pendirian gereja Katolik yang sudah lengkap berbagai ijinnya justru dihambat pembangunannya dengan menyuruh mengulang proses perijinannya dari awal. Ini terjadi di Kota Kediri yang justru menjadi kota paling toleran ke-5 di Indonesia.
Di Kalimantan Barat, terjadi penolakan terhadap pendirian gereja Katolik di Desa Kapur, Kabupaten Kubu Raya yang dilakukan oleh penduduk setempat dari Forum RT Dusun Parit Mayor Darat, yang ternyata masyarakat pendatang. Untung saja dengan cepat Bupati Kubu Raya, Sujiwo, bertindak dan menegaskan tidak ada ruang bagi intoleransi. Ini juga sebagai upaya menghindari bentrok dengan penduduk asli (Dayak) yang mayoritas beragama Kristen.

Dan yang paling akhir, peristiwa Intoleransi, perusakan rumah doa milik Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) yang terjadi di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tengah, Kota Padang, Sumatera Barat.
Tindakan kekerasan oleh sekelompok massa terhadap rumah doa tersebut menuai kecaman luas dari berbagai pihak. Terutama ketika tindakan kekerasan tersebut terjadi, terdapat korban luka-luka dan trauma pada 2 orang anak-anak yang menjadi korban pemukulan. Bahkan dikabarkan salah satu korban anak masih mengalami trauma berkepanjangan, berteriak-teriak ketakutan dan menangis sepanjang waktu.

Pertanyaan kita yang paling standar adalah, kenapa peristiwa Intoleransi seperti ini selalu terjadi? Apakah pemerintah yang abai? Apakah Menteri Agama yang tidak becus bekerja? Apakah pemuka agama mayoritas yang tidak pernah men-syiar-kan, perlunya kerukunan beragama dan bertoleransi dalam beragama?
Ratusan pertanyaan bisa kita lontarkan dan tanyakan. Yang jelas MUI saja tidak pernah bersuara atau berfatwa menentang perbuatan ini.

Dikutip dari Cokro TV: Peristiwa Intoleransi yang terus terjadi ini sedang mempertontonkan wajah buram kita di negri yang katanya menjunjung tinggi keberagamaan dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan ber-Pancasila.
Menurut catatan dari BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) lebih dari 2.000 akun media sosial menyiarkan lebih dari 10.000 konten Intoleransi sepanjang Januari hingga Oktober 2024 dengan narasi anti Pancasila, anti NKRI, dan kebencian berbasis agama.
Data juga menunjukkan bahwa 22,4% remaja SMA sudah menunjukkan sikap Intoleransi pasif, 5% aktif dan 0,6% sudah terpapar radikalisme.
Dilapangan, BNPT menemukan bahwa penolakan terhadap rumah ibadah dan pembubaran aktifitas keagamaan terus terjadi akibat pemahaman sesat terhadap istilah keagamaan seperti, kafir, yang dijadikan pembenaran kekerasan terhadap penganut agama lain.

Sayangnya, negara yang kita harapkan tampil sebagai pelindung, malah lebih sering tampil sebagai pelaku intoleransi.
Laporan Setara Institut mencatat 329 pelanggaran kebebasan beragama sepanjang 2024 naik tajam dari 217 kasus pada 2023 dan melibatkan sekitar 40% aktor negara seperti, pemda, kepolisian TNI, Satpol Pp hingga institusi pendidikan.

Kebebasan beragama dari umat minoritas sungguh menyedihkan. Untuk mendapatkan hak asasinya, kebebasan berdoa dan beragama saja sulit mendapatkanya. Ini misalnya, untuk mendirikan rumah ibadah saja, harus menempuh jalan panjang dan berkelok. Dan jikapun perijinan sudah diterima, masih saja ada yang bisa memprotes dan mempersoalkannya.
Hal yang lebih miris, untuk beribadahpun, kelompok mayoritas bisa merecokinya dan membubarkannya dengan alasan bahwa beribadah harus punya ijin. Pertanyaannya, sejak kapan beribadah harus berijin?

Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa negara menjamin kebebasan setiap warga untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya. Sehingga bilamana terjadi tindakan Intoleransi atau pembubaran beribadah akan merupakan pelanggaran berat terhadap undang undang tersebut.
Itu kata undang undang. Apakah undang undang ini pernah di sosialisasikan atau tidak, sehingga pelaku Intoleransi pada tingkat aktor negara tidak tahu, rasanya tidak juga. Dalam banyak kasus kita melihat kesengajaan negara dengan melakukan pembiaran nyata terlihat. Negara abai menjalankan perannya sebagai pelindung dan penjamin kebebasan beragama bagi seluruh warga negaranya.

Intoleransi Alasan Politis

Rasanya, kegagalan negara melindungi dan menjamin kebebasan warganya lebih bersifat pertimbangan politis dan kalkulasi politik elektoral yang menjelma menjadi rasa takut. Terang-terangan menjadi pelindung agama minoritas akan berhadapan dengan suara mayoritas pada saat Pilkada/Pemilu nanti. Rasa takut akan kehilangan dukungan suara mayoritas nanti sungguh sungguh mengerikan. Inilah yang membuat mereka bungkam dan malah “mendukung” aksi Intoleransi masyarakat. Kelompok-kelompok Intoleransi meskipun jumlahnya kecil tetapi memiliki daya mobilisasi yang tinggi serta suara yang keras dan militan. Mereka selalu diperlukan setiap lima tahun untuk memobilisasi suara serta dukungan bagi kelompok-kelompok tertentu. Partai politik dan pejabat publik yang melewati pemilihan, memilih untuk tidak menindak kelompok-kelompok ini dengan resiko “kehilangan dukungan”.

Untuk itu jangan heran jika para pejabat daerah selalu memakai alasan yang sama ketika kasus Intoleransi terjadi di wilayahnya. Alasan yang seakan sudah menjadi template: “Terjadi kesalah pahaman”. Alasan yang keluar dari mulut Gubernur sampai ketua RT, dari Kapolsek sampai Kapolda, bahkan dari mulut seorang Menteri Agama.
Menyerang orang berdoa, merusak rumah ibadah dan menyerang fisik umat yang sedang beribadah, entah “kesalahpahaman” model apa.

Ancaman Kesatuan NKRI.

Diamnya negara serta bungkamnya berbagai organisasi keagamaan dan MUI sebagai wadah umat mayoritas, kali ini mendapat reaksi keras dari organisasi-organisasi kesukuan di Indonesia Bagian Timur. Di Sulawesi Utara, Papua, Kalimantan dan di banyak tempat terjadi demonstrasi dari organisasi masyarakat adat.
Sudah terdengar suara-suara yang meminta Indonesia bagian timur sebagai daerah khusus minoritas. Di Kalimantan dan Papua sudah terdengar penolakan terhadap program transmigrasi yang dicurigai sebagai program Islamisasi (merujuk pada kasus di Desa Kapur, Kabupaten Kubu Raya, dimana warga pendatang menentang pembangunan gereja Katolik warga lokal). Bahkan di Papua sudah terjadi penolakan warga terhadap pembangunan masjid, yang dianggap akan menjadi tempat sumbernya Intoleransi.
Di Sulawesi Utara dan beberapa daerah sudah ada suara-suara untuk boikot rumah makan Padang.

Apakah ini yang kita mau? Apakah ini akhir dari Indonesia?

Bagi minoritas krisis kepercayaan terhadap negara kesatuan, yg dibungkus oleh Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila, sudah semakin jelas. Pemerintah yang diam dan tidak tegas dalam menindak pelaku aksi-aksi Intoleransi selama ini sudah menghilangkan kesabaran minoritas. Berada dalam negara kesatuan tetapi persekusi keagamaan dari mayoritas selalu terjadi.

Kita berharap kedepan, demi utuhnya negara kesatuan NKRI, tidak ada lagi kasus-kasus Intoleransi yang terjadi. Negara benar-benar memberikan perhatiannya bekerjasama dengan semua unsur keagamaan. Menteri agama bersuara mengutuk perbuatan-perbuatan Intoleransi yang dapat memecah belah bangsa, mengancam persatuan dan kesatuan.
Kita juga berharap, MUI mengeluarkan fatwa yang bukan hanya makanan dan minuman, tetapi juga fatwa bahwa perbuatan-perbuatan Intoleransi itu haram apalagi bisa memecah persatuan dan kesatuan bangsa.

Sadarlah, bahwa kejadian-kejadian Intoleransi yang terjadi dapat merusak citra Indonesia di dunia internasional yang selama ini di-gembar gembor-kan sebagai negara yang toleran dan pluralis. Dunia Internasional dapat kehilangan kepercayaan terhadap Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Mungkin sudah saatnya negara memikirkan untuk membuat kebijakan yang Inklusif untuk melindungi hak-hak kelompok minoritas yang berlaku umum, berlaku juga untuk melindungi semua agama pada tempat ketika dia menjadi minoritas.

Dirgahayu Indonesia-ku, tanah tumpah darahku.

Cinere, Depok, 3 Agustus 2025.

 

** Penulis ada pengusaha, Pemred berita online dan Pemerhati Kepolisian

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini