Oleh: S Stanley Sumampouw
Euforia didalam masyarakat menyambut vonis Richard Eliezer tadi siang benar-benar pecah.
Bukan hanya suasana diruang sidang Eliezer saja, dirumah-rumah, kantor dan cafe serta diberbagai tempat, masyarakat yang nobar terlihat bergembira dan lega menyambut putusan Hakim Ketua Wahyu Imam Santoso yang memvonis Richard Eliezer dengan 1 tahun 6 bulan potong masa tahanan. Hanya 8 bulan yang perlu dijalani Eliezer.
Kita bergembira, masyarakat bergembira dengan keberanian Hakim mengambil keputusan tersebut. Dan hebatnya tanpa desenting opinion (berbeda pendapat diantara tim hakim).
Kenapa kita mengatakan bahwa ini merupakan keberanian Hakim? Karena sebelumnya Jaksa Penuntut memberikan tuntutan 12 tahun penjara untuk Eliezer. Dan sudah menjadi ‘kebiasaan’ dan umumnya, bahwa Hakim memutuskan 2/3 dari tuntutan jaksa.
Oleh jaksa Eliezer diyakini melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP (Pembunuhan berencana).
Tuntutan yang diajukan jaksa terhadap Eliezer tersebut adalah 12 tahun dengan pertimbangan jaksa bahwa Eliezer sudah menjadi justice collaborator. Normalnya, 20 tahun hingga hukuman mati untuk pasal 340 KUHP.
Tuntutan jaksa tersebut menjadi pembicaraan diruang-ruang publik, dibahas di berbagai televisi oleh para pakar serta pengamat hukum sampai kaum emak-emak, dan tidak kalah ramainya dibahas di medsos.
Pendeknya, masyarakat banyak tidak setuju dengan tuntutan jaksa. Jaksa dianggap kurang peka dan melawan rasa keadilan masyarakat.
Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Fadil Jumhana yang tampil di konperensi pers yang disiarkan diberbagai tv menerangkan dan membela keputusan Kejaksaan memberikan tuntutan 12 tahun kepada Eliezer langsung menuai kritik keras dari masyarakat.
Masyarakat heran, jaksa memberikan tuntutan terhadap Eliezer jauh diatas tertuduh lainnya seperti Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf. Bahkan diatas tuntutan terhadap tersangka Putri Chandrawati yang justru menjadi pemicu kasus ini. Padahal jelas-jelas ketiga orang tersebut selalu berbelit-belit, berbohong dan tidak kooperatif.
Tidak kurang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bereaksi keras atas tuntutan jaksa tersebut. Menurut LPSK jaksa tidak mempertimbangkan dan mengabaikan UU No 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Masyarakat luas dan berbagai pihak yang tidak puas terhadap tuntutan jaksa akhirnya menyerahkan dan pasrah berharap pada majelis Hakim akan vonis yang memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Hakim telah memberikan keputusan terhadap Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, Ricky Rizal, Kuat Ma’ruf dan Eliezer yang keseluruhan putusan vonisnya seakan ‘mengejek’ tuntutan jaksa.
Ferdy Sambo yang dituntut jaksa adalah pidana penjara seumur hidup di vonis Pidana Mati.
Putri Candrawathi yang dituntut jaksa hukuman 8 tahun penjara di vonis pidana penjara 20 tahun penjara.
Kuat Ma’ruf yang dituntut jaksa pidana 8 tahun penjara dijatuhi vonis 15 tahun penjara. Sedangkan Ricky Rizal yang sebelumnya dituntut dengan hukuman 8 tahun penjara dijatuhi vonis 13 tahun penjara.
Ada apa dengan tuntutan jaksa?
Diluar kebiasaan, Hakim menjatuhkan vonis kepada 5 terdakwa itu jauh diatas tuntutan jaksa.
Pasal 1 angka 12 Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah mengatur upaya hukum bagi pihak-pihak yang beracara di pengadilan untuk melakukan perlawanan jika tidak menerima putusan pengadilan. Upaya tersebut adalah banding.
Jika jaksa tidak menerima putusan pengadilan, terutama dalam putusan terhadap Eliezer jaksa bisa melakukan banding.
Pertanyaannya perlukah jaksa naik banding?
Banding adalah hak jaksa. Sebagai penuntut umum jaksa adalah penuntut yang mewakili negara dan korban. Dalam hal ini, kasus Eliezer ini, jaksa bekerja merepresentasikan korban Josua (dan keluarga Josua).
Kita tahu bahwa dalam salah satu pertimbangan Hakim menjatuhkan vonis (ringan) pada Eliezer adalah bahwa orang tua Josua sudah memaafkan Eliezer. Dan orang tua Josua ketika hadir dalam sidang vonis Eliezer mengatakan bahwa vonis Hakim kepada Eliezer sudah adil karena Eliezer sudah menyesal dan bertobat.
Nah, jika memang sudah begitu masih relevankah jaksa naik banding?
Jika jaksa naik banding pertanyaannya buat siapa dan mewakili siapa jaksa naik banding?
Kita masih ingat dengan jelas ketika pembacaan tuntutan kepada Eliezer, mimik ekspresi jaksa Sugeng dan kawan-kawan tim jaksa.
Mimik ekspresi yang menyiratkan rasa keadilan jaksa yang tertekan.
Cinere – Depok, Rabu 15 Februari 2023, pk 20.01
Penulis adalah Pengusaha, Ketum Maspolin, Pemred Maspolin.id dan Pemerhati Kepolisian.










